UPDATE

OPINI
OPINI

Isyarat Darurat dari Rakyat yang Terlupakan

Di tengah banjir yang merendam Aceh, sebuah simbol berkibar pelan namun menghentak nurani. Bendera putih tanpa [bukan] negara. Ia bukan lambang diplomasi, bukan tanda perang, bukan pula isyarat politik. Ia adalah bahasa paling jujur dari rakyat yang terdesak—bahwa di saat genting, yang paling absen justru kehadiran negara.

Tulisan ini dibuat sebagai pengingat. Bahwa kebersamaan dan persatuan itu akan abadi jika negara masih memiliki tujuan yang sama dengan rakyatnya.

Bendera putih itu dipasang bukan untuk menyerah, melainkan untuk bertahan. Ia berdiri di atas atap rumah yang tenggelam, di tepi meunasah yang menjadi pos pengungsian, di perahu relawan yang mondar-mandir menjemput korban. Pesannya sederhana dan telanjang: kami butuh selamat, sekarang. Namun kesederhanaan pesan itu justru mempermalukan sistem yang rumit, prosedur yang berbelit, dan birokrasi yang lamban.

Aceh bukan wilayah tanpa pengalaman bencana. Sejarahnya panjang—tsunami, konflik, gempa, banjir berulang. Seharusnya, dari semua luka itu, negara belajar. Seharusnya, respons cepat, logistik memadai, dan komando tanggap darurat menjadi refleks, bukan wacana. Namun bendera putih tanpa negara membuktikan sebaliknya. Pembelajaran itu sering berhenti di dokumen, tak menjelma tindakan.

Yang bergerak lebih dulu justru rakyat. Pemuda gampong, relawan independen, komunitas masjid, mahasiswa, selebritis, konten kreator, influencer—mereka yang tanpa anggaran besar, tanpa konferensi pers, tanpa protokol berlapis—datang membawa perahu, nasi bungkus, selimut, dan tenaga. Solidaritas berjalan mendahului negara.

Berita Lainnya:
Efek Kupu-kupu dan Tragedi Hukum Lingkungan

Ini bukan romantisasi gotong royong; ini kritik telak. Sebab gotong royong yang lahir dari krisis tak boleh menjadi alasan pembenar bagi absennya tanggung jawab negara.

Gugatan ini bukan menafikan upaya yang ada. Bantuan datang, aparat turun, lembaga bergerak. Namun pertanyaannya tegas adalah mengapa terlambat? Mengapa korban harus lebih dulu mengibarkan bendera putih agar didengar? Mengapa koordinasi baru rapi setelah tekanan publik membesar? Dalam manajemen bencana, waktu adalah nyawa. Setiap jam keterlambatan adalah risiko yang disengaja.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Lebih jauh, bendera putih tanpa negara menyingkap akar masalah yang lebih dalam. Tata kelola lingkungan dan kebijakan yang abai. Banjir bukan semata hujan. Ia akumulasi dari pembalakan, alih fungsi lahan, pengawasan yang longgar, dan penegakan hukum yang setengah hati. Ketika hutan dirambah dan sungai menyempit, banjir hanyalah penagih utang. Negara tak bisa terus datang sebagai pemadam, lalu pergi tanpa memperbaiki sumber api.

Ada pula persoalan keadilan. Mengapa korban harus berhadapan dengan ancaman kriminalisasi saat menyelamatkan diri—memanfaatkan kayu, perahu, atau sumber daya darurat hingga ingin menerbitkan peraturan pemanfaatan kayu banjir—sementara aktor perusak lingkungan sering luput dari jerat hukum?

Berita Lainnya:
Inkonsistensi yang Dilegalkan

Dalam bencana, hukum seharusnya berpihak pada keselamatan manusia, bukan menjadi alat yang kaku dan menakutkan. Keadilan prosedural tanpa empati adalah kekerasan yang halus.

Bendera putih tanpa negara adalah gugatan moral. Ia menuntut negara hadir bukan sebagai penonton, apalagi penertib pasca-krisis, melainkan sebagai pelindung sejak dini. Hadir dengan peta risiko yang diperbarui, peringatan dini yang berfungsi, logistik pra-posisi, komando yang jelas, dan transparansi anggaran. Hadir dengan keberanian menindak perusak lingkungan, meski berhadapan dengan kepentingan besar.

Aceh tidak meminta keistimewaan. Aceh menuntut kewajiban konstitusional dipenuhi. Negara ada untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah—kalimat ini bukan slogan upacara, melainkan mandat yang diuji justru saat banjir datang. Ketika rakyat mengibarkan bendera putih tanpa negara, itu alarm keras bahwa mandat itu sedang bocor.

Gugatan ini harus berujung pada perubahan, bukan sekadar simpati. Negara mesti belajar dari bendera putih itu: bahwa kedaulatan sejati diukur dari seberapa cepat dan adil ia melindungi warganya di saat paling rapuh. Jika tidak, bendera putih akan terus berkibar—bukan sebagai tanda menyerah rakyat, melainkan sebagai bukti kegagalan negara.[]

Abonneer
Laat het weten als er
guest
0 Komentar
Inline feedbacks
Bekijk alle reacties

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.