Penulis: Saifullah Hayati Nur**
JOKO WIDODO, yang lebih dikenal sebagai Jokowi, bukan sekadar mantan presiden Indonesia dua periode. Ia adalah fenomena politik yang mengubah wajah kepemimpinan Indonesia dalam dua dekade terakhir. Dari wali kota Solo yang sederhana hingga menjadi kepala negara ketiga terbesar di dunia, Jokowi menciptakan citra pemimpin populis yang dekat dengan rakyat dan anti oligarki. Namun, seiring waktu, bayangan kebesaran Jokowi tidak lagi secerah retorika kampanyenya. Realitas kepemimpinan yang ia bangun justru semakin dipertanyakan, terutama karena banyaknya janji politik yang diingkari dan kebijakan yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang ia bawa saat pertama kali berkuasa.
Sejumlah laporan investigatif dari media kredibel seperti Majalah Tempo, OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project), serta berbagai analisis akademis dari lembaga internasional, menyoroti jejak rekam politik Jokowi yang tidak konsisten, bahkan disebut “pembohong” oleh berbagai kalangan sipil dan intelektual. Tulisan ini mencoba merunut berbagai pembuktian dari sumber-sumber tersebut untuk menjawab pertanyaan krusial: Apakah Jokowi memang pembohong politik terbesar dalam sejarah kontemporer Indonesia?
Pada awal kemunculannya, Jokowi menyedot simpati publik karena tampil beda dari elite politik Orde Baru dan era reformasi. Ia tidak berasal dari militer, bukan keturunan penguasa, dan dikenal dengan gaya “blusukan”. Namun citra populisme yang dibangun ini lambat laun tergerus ketika rakyat melihat kontradiksi mencolok antara retorika dan realitas.
Menurut Marcus Mietzner, akademisi Australian National University dalam bukunya "Populism and Oligarchy in Indonesia" (2021), Jokowi berhasil membangun narasi politik populis saat kampanye, tapi justru memelihara oligarki saat berkuasa. Ini tergambar jelas dalam struktur kabinetnya yang dipenuhi oleh tokoh partai dan elite bisnis, termasuk mantan rivalnya seperti Prabowo Subianto.
Janji Jokowi tentang “kabinet profesional” ternyata hanya jargon. Pada kenyataannya, penunjukan menteri lebih kental nuansa bagi-bagi kekuasaan. Bahkan jabatan strategis seperti Menteri Pertahanan dan Menteri BUMN diberikan kepada orang-orang yang jelas memiliki kepentingan politik dan bisnis.
Berikut adalah beberapa janji penting Jokowi yang terbukti tidak ditepati:
Penguatan KPKJokowi berjanji mendukung pemberantasan korupsi. Namun faktanya, ia menyetujui revisi UU KPK pada 2019 yang menyebabkan independensi lembaga ini nyaris lumpuh. Penolakan masif dari mahasiswa, akademisi, dan masyarakat sipil tidak diindahkan. Menurut laporan investigasi Tempo edisi September 2019 bertajuk “Di Bawah Tekanan”, Jokowi sebenarnya memiliki kewenangan untuk menolak revisi itu, namun ia memilih diam.
UU Cipta Kerja (Omnibus Law)Jokowi mempromosikan UU ini sebagai solusi penciptaan lapangan kerja. Tetapi substansinya justru melemahkan perlindungan buruh dan merusak lingkungan. Laporan WALHI dan YLBHI bahkan menyebut UU ini sebagai “karpet merah untuk oligarki”.
Janji Tidak Menambah UtangDalam berbagai debat publik, Jokowi menyatakan Indonesia tidak akan terlalu bergantung pada utang luar negeri. Namun, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa utang negara melonjak dari Rp2.600 triliun (2014) menjadi lebih dari Rp8.000 triliun (2024). Proyek-proyek besar seperti IKN dan Kereta Cepat menambah beban fiskal negara, di luar efisiensi dan transparansi yang dipertanyakan.
Salah satu sorotan besar terhadap kepemimpinan Jokowi datang dari proyek-proyek infrastrukturnya yang gencar namun penuh kontroversi. Laporan investigatif dari OCCRP (2021), yang berjudul "Indonesia’s Hidden Ties in China’s Belt and Road Projects", menyebutkan adanya konflik kepentingan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Proyek ini melibatkan perusahaan-perusahaan yang terhubung dengan tokoh dalam lingkaran dekat Jokowi, termasuk anak-anak dan menantunya yang duduk dalam jaringan BUMN dan swasta.
Menurut OCCRP, proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI) yang digagas China sangat rentan terhadap korupsi karena minimnya transparansi. Dalam kasus Indonesia, keterlibatan elite bisnis-politik yang mendapat konsesi dari proyek-proyek tersebut menambah keraguan terhadap motif Jokowi membangun infrastruktur secara masif.
Jokowi juga pernah menyatakan menolak politik dinasti. Namun kemudian justru mendorong anak dan menantunya—Gibran Rakabuming dan Bobby Nasution—maju dalam Pilkada Solo dan Medan. Keduanya menang dengan dukungan penuh dari partai dan alat kekuasaan.
Lebih jauh, Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh ipar Jokowi, Anwar Usman, mengubah aturan batas usia capres/cawapres, sehingga Gibran bisa maju sebagai cawapres 2024. Majalah Tempo menyebutnya sebagai “Skandal Etik Konstitusi”, karena perubahan ini dilakukan secara politis, bukan objektif.
Indonesia, selama masa pemerintahan Jokowi, mengalami penurunan indeks demokrasi. Lembaga riset seperti Freedom House dan The Economist Intelligence Unit menyatakan bahwa kebebasan sipil, kebebasan pers, dan kebebasan berpendapat menurun drastis.
Kasus kriminalisasi aktivis seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti karena mengkritik Luhut B. Pandjaitan—menunjukkan negara lebih represif daripada responsif terhadap kritik. Jokowi, alih-alih melindungi kebebasan sipil, justru membiarkan aparat hukum digunakan sebagai alat kekuasaan.
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur adalah ambisi besar Jokowi. Namun di balik proyek ini, banyak janji yang dilanggar. Ia berjanji tidak akan menggusur masyarakat adat dan merusak ekosistem. Tapi kenyataannya, masyarakat Dayak, serta komunitas adat lainnya, telah melaporkan konflik lahan dan kehilangan ruang hidup.
Dalam laporan investigasi Tempo (2023) berjudul “Nusantara di Atas Konflik”, disebutkan bahwa lahan masyarakat adat dipaksa dibeli atau diserahkan tanpa konsultasi yang bermakna. Proyek yang diklaim "green city" ini justru memicu deforestasi dan pencemaran lingkungan.
Dalam terminologi politik, kebohongan sistemik merujuk pada praktik kekuasaan yang tidak hanya sekali dua kali menyimpang, tetapi secara konsisten menjauh dari nilai transparansi dan akuntabilitas. Dalam konteks Jokowi, pola-pola ini muncul berulang kali:
Bahkan hingga akhir masa jabatannya, Jokowi terus mengeluarkan pernyataan yang kerap bertolak belakang dengan kebijakan riilnya. Pada satu kesempatan, ia menyatakan tidak akan cawe-cawe dalam Pilpres 2024, tapi faktanya mendukung Gibran sebagai cawapres.
Dari semua uraian di atas, terlihat bahwa narasi besar tentang Jokowi sebagai pemimpin jujur dan sederhana tidak mampu bertahan menghadapi ujian kekuasaan. Jokowi gagal memenuhi banyak janjinya, bahkan menyeberang ke jalur yang dulu ia lawan. Ketika janji menjadi alat meraih kekuasaan, dan bukan kontrak moral dengan rakyat, maka istilah “pembohong” bukan sekadar label emosional, tapi refleksi empiris dari pola kepemimpinannya.
Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University dalam kuliahnya tentang oligarki di Indonesia menyebut bahwa Jokowi adalah contoh sukses "oligarki terselubung", di mana pemimpin rakyat justru melayani elite bisnis dan militer dengan wajah populis. Dalam konteks ini, Jokowi tidak hanya gagal, tapi berkhianat terhadap semangat reformasi 1998.
Menyebut seorang pemimpin sebagai “pembohong” bukan tindakan sepele. Tapi dalam tradisi demokrasi, kebenaran publik lebih penting daripada kenyamanan kekuasaan. Kritik terhadap Jokowi harus dilihat sebagai bagian dari ikhtiar menjaga republik ini dari pembusukan moral dan penyimpangan kekuasaan. Saat narasi media dikuasai, akademisi bungkam, dan aparat tunduk, maka suara rakyat harus lebih keras berbicara.
Warisan Jokowi akan ditulis dalam sejarah. Tapi sejarah juga akan mencatat bahwa banyak dari yang ia janjikan hanya tinggal kata-kata, dan banyak dari yang ia tinggalkan adalah luka struktural pada demokrasi, hukum, dan kepercayaan rakyat.
Referensi:
**).Penulis adalah Warga Pinggiran Kota Banda Aceh
Please share by clicking this button!
Visit our site and see all other available articles!