Jumat, 19/04/2024 - 15:30 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

EROPAINTERNASIONAL

Inggris akan Adopsi Strategi Pangan Nasional Pertamanya

ADVERTISEMENTS

Inggris akan fokus pada peningkatan produksi dalam negeri untuk ketahanan pangan

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

LONDON – Pemerintah Inggris akan menetapkan strategi pangan nasional pertamanya, Senin (13/6/2022). Mereka akan fokus pada peningkatan produksi dalam negeri guna meningkatkan ketahanan pangan daripada mengatasi obesitas setelah rekomendasi untuk mengenakan pajak garam dan gula dalam makanan olahan ditolak.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

Pemerintah Inggris mengatakan, agresi Rusia ke Ukraina telah memukul pasokan makanan dan menyebabkan harga melonjak. Hal itu turut menjadi alasan mengapa ketahanan pangan nasional perlu ditingkatkan. Dalam strategi pangan pertamanya, Inggris bakal mempertahankan tingkat produksi pangan di dalam negeri. Mereka pun akan berusaha meningkatkan produksi di beberapa sektor, seperti hortikultura serta makanan laut.

ADVERTISEMENTS

Pemerintah Inggris sudah menyiapkan dana sebesar 270 juta poundsterling untuk investasi inovasi di bidang pertanian hingga 2029. Perdana Menteri Boris Johnson mengatakan, strategi itu akan mendukung petani dan membantu melindungi pasokan makanan dari guncangan ekonomi di masa depan.

“Dengan memanfaatkan teknologi dan inovasi baru, kami akan tumbuh dan makan lebih banyak makanan kami sendiri, membuka lapangan kerja di seluruh negeri serta menumbuhkan ekonomi, yang pada akhirnya akan membantu mengurangi tekanan pada harga,” kata Johnson dalam sebuah pernyataan.

Berita Lainnya:
Ukraina Pertimbangkan Terima Bantuan Tanpa Bunga dari AS ala Donald Trump

Partai oposisi di Inggris saat ini, yakni Partai Buruh mengatakan, pemerintah telah gagal menyampaikan lebih dari sekadar slogan baru dan pengumuman kembali pendanaan yang ada. “Inggris berada dalam krisis biaya hidup dengan harga pangan melonjak, upah riil turun dan pajak naik. Jelas sekarang bahwa pemerintah sama sekali tidak berambisi untuk memperbaiki kekacauan yang mereka buat,” kata Jim McMahon, juru bicara lingkungan, pangan, dan urusan pedesaan Partai Buruh.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Pekan lalu Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, dampak konflik Rusia-Ukraina bagi dunia bisa semakin memburuk. Menurutnya, 1,6 miliar orang di berbagai negara bakal menanggung imbas perang antara dua negara bekas Uni Soviet tersebut.

“Dampak perang terhadap ketahanan pangan, energi, dan keuangan bersifat sistemik, parah, serta semakin cepat,” kata Guterres saat mempresentasikan laporan kedua tentang dampak konflik Rusia-Ukraina, Rabu (8/6/2022).

Berita Lainnya:
Serangan Bom Bunuh Diri di Pakistan Tewaskan Lima Warga China

Dia mengkhawatirkan krisis yang bisa muncul sebagai konsekuensi perang Rusia-Ukraina. “Bagi orang-orang di seluruh dunia, perang mengancam untuk melepaskan gelombang kelaparan dan kemelaratan yang belum pernah terjadi sebelumnya, meninggalkan kekacauan sosial serta ekonomi di belakangnya,” ucapnya.

Guterres berpendapat, krisis pangan yang berlangsung saat ini terjadi akibat kurangnya akses. Namun tahun depan, hal itu bisa terjadi karena kekurangan pangan. “Hanya ada satu cara untuk menghentikan kumpulan badai ini: invasi Rusia ke Ukraina harus diakhiri,” ujarnya.

Ukraina dan Rusia adalah pemain besar dalam produksi pangan dunia. Menurut PBB, mereka mewakili 53 persen perdagangan global minyak bunga matahari dan biji-bijian, serta 27 persen gandum. Di Afrika, 25 negara mengimpor lebih dari sepertiga gandum mereka dari Ukraina dan Rusia.

Selain itu, Rusia dan Ukraina mengekspor 28 persen pupuk yang terbuat dari nitrogen dan fosfor, serta kalium. Konflik telah menghambat Ukraina melakukan pengiriman pasokan ke luar negeri. Sementara sanksi Barat telah mencegat Rusia mengekspor komoditas-komoditasnya.


sumber : Reuters

Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi