BANDA ACEH – Dalam upaya berkelanjutan untuk menjaga kelestarian sumber daya laut dan perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh (DKP Aceh) akan menyelenggarakan kegiatan penting berupa pertemuan monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan karang dan demersal di Selat Benggala, Provinsi Aceh, Kamis, 31 Juli 2025.
Acara ini digelar bertujuan untuk mengumpulkan berbagai pemangku kepentingan, dihadiri 50 peserta membahas serta menyusun strategi praktik perikanan yang lebih berkelanjutan dilaksanakan di Hip Hop Hotel, Jl. Moh. Jam No.70 Kp. Baru Kecamatan Baiturrahman Kota Banda Aceh.
Kegiatan ini merupakan bagian integral dari implementasi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 3 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Pengelolaan Perikanan (RAPP) Berkelanjutan di Perairan Aceh 2023-2027.
Dokumen RAPP ini secara spesifik berfokus pada rencana aksi pengelolaan perikanan karang dan demersal ekonomis penting di Perairan Selat Benggala, sebagai implementasi dari Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 572.
Pertemuan ini juga menjadi tindak lanjut dari diseminasi hasil monitoring kondisi perikanan karang dan demersal yang telah dilakukan DKP Aceh pada tahun 2022-2024, bertujuan untuk mengevaluasi dampak Pergub RAPP terhadap komoditas tersebut.
Hasil riset menunjukkan bahwa biomassa ikan demersal di WPPNRI 572 Samudera Hindia Barat Sumatera diperkirakan mencapai 470.122 ton. Namun, laporan juga mengindikasikan adanya penurunan hasil tangkapan dan ukuran ikan, serta degradasi di beberapa lokasi penangkapan, yang menyoroti urgensi pengelolaan yang lebih efisien dan berkelanjutan.
Data statistik perikanan Provinsi Aceh menunjukkan bahwa volume produksi perikanan tangkap pada tahun 2023 mencapai 159.658 ton. Untuk tahun 2024, volume produksi perikanan tangkap laut Aceh tercatat sebesar 297.222 ton. Secara keseluruhan, produksi perikanan di Aceh pada tahun 2024 mencapai 361.376,72 ton, di mana mayoritas berasal dari sektor perikanan tangkap.
Meskipun potensi sumber daya perikanan tangkap di perairan Aceh (WPPNRI 571 dan 572) mencapai 423,41 ribu ton per tahun, hanya sekitar 50 persen dari potensi tersebut yang termanfaatkan, dan sebagian besar masih dalam bentuk mentah. Oleh karena itu, para akademisi menekankan pentingnya peningkatan nilai tambah melalui produk turunan perikanan.
Pengelolaan perikanan di Aceh juga menghadapi berbagai tantangan, termasuk kebutuhan akan koordinasi yang kuat antar instansi dan harmonisasi antara kebijakan pemerintah dengan hukum adat laut (Hukom Adat Laot) yang dipimpin oleh Panglima Laot.
Pelanggaran terhadap daerah penangkapan ikan (DPI) yang ditetapkan, seperti kasus penertiban dua kapal ikan oleh KKP di WPPNRI 572 bagian barat Aceh Besar pada Desember 2024 karena beroperasi di luar zona izin, menunjukkan bahwa pengawasan ketat diperlukan untuk mencegah penangkapan berlebih (overfishing).
Peserta utama yang hadir diantaranya Kepala Dinas dari berbagai instansi pemerintah terkait seperti Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh (DPMPTSP), Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Lampulo, dan Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu (BKIPM) Blang Bintang, Aceh.
Akademisi dan peneliti dari universitas terkemuka seperti Universitas Syiah Kuala (USK), Universitas Teuku Umar (UTU), dan Universitas Abulyatama, termasuk dekan dan profesor yang mengkhususkan diri di bidang perikanan.
Perwakilan dari organisasi non-pemerintah, termasuk World Wildlife Fund (WWF) dan Flora Fauna Indonesia (FFI), serta pemimpin masyarakat lokal seperti Panglima Laot dari berbagai daerah, serta individu dan pakar di sektor perikanan, termasuk mereka yang terlibat dalam perikanan tangkap, budidaya, dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).






























































































