更新

伊斯兰教
伊斯兰教

Kenapa Anak Muda Takut Nikah? Krisis Ekonomi Jadi Penyebab Utama

DI berbagai platform digital, dari TikTok sampai X, semakin sering kita mendengar curhatan anak-anak muda yang menyatakan, “Nikah? Nanti aja kalau sudah mapan,” atau “Punya anak itu mahal, ngeri!” bahkan ada yang lebih ekstrem, “Mending sendiri aja, hidup sudah berat.”

Fenomena ini bukan sekadar tren, melainkan kegelisahan massal dari generasi yang hidup dalam tekanan ekonomi yang makin mencekik. Mereka tumbuh di tengah narasi bahwa pernikahan bukan lagi ladang kebaikan, melainkan tanggungan besar yang bisa memperburuk keadaan finansial. Akhirnya lahirlah istilah yang kian populer, marriage is scary.

Padahal, ketakutan ini bukan muncul tiba-tiba. Ia muncul dari luka yang lebih dalam—yakni luka ekonomi kapitalisme yang menghantam cara berpikir, cara merasa, dan cara menjalani hidup generasi saat ini.

Ketika Ekonomi Membentuk Cara Pandang terhadap Pernikahan

Di masa lalu, pernikahan adalah sesuatu yang dinantikan. Orang tua senang, keluarga bersuka cita, lingkungan mendukung. Hari ini? Banyak anak muda memandang pernikahan dengan cemas.

Lonjakan harga kebutuhan pokok, biaya hunian yang tak terjangkau, gaji yang stagnan, dan kompetisi kerja yang brutal menyebabkan banyak orang merasa “belum layak” menikah. Bahkan survei menunjukkan bahwa generasi muda lebih takut miskin daripada takut tidak menikah.

Mereka melihat realitas, pasangan yang sudah menikah harus berjuang membayar kontrakan mahal, cicilan menumpuk, biaya melahirkan belasan juta, susu bayi yang harganya bikin mengelus dada. Tidak sedikit yang menyaksikan orang tua mereka—yang sudah bekerja keras seumur hidup—tetap kesulitan. Lalu mereka bertanya, “Kalau mereka saja berat, bagaimana aku?”

Narasi “tunda pernikahan sampai mapan” makin menguat, padahal kemapanan dalam sistem kapitalisme ibarat fatamorgana. Ia tampak dekat, tetapi semakin dikejar semakin jauh.

Ⓒ 上述照片的版权归属实际归属于照片所有者。

Akar Masalah: Ketakutan yang Dibentuk Sistem, Bukan Sekadar Pilihan Pribadi

Jika ditelusuri lebih dalam, ketakutan menikah bukan semata-mata masalah mental generasi muda. Ia merupakan produk dari sistem kapitalisme yang menciptakan biaya hidup super tinggi karena kebutuhan publik dikelola seperti komoditas, persaingan kerja yang ketat akibat lapangan kerja tidak sebanding dengan jumlah angkatan muda, upah rendah, tidak sebanding dengan inflasi gaya hidup yang terus naik. Beban hidup dipikul individu karena negara hanya berperan sebagai regulator, bukan penanggung jawab kesejahteraan.

其他新闻:
在灾难中摒弃不良行为

Di tengah kondisi seperti ini, wajar jika generasi muda memandang pernikahan sebagai beban baru. Mereka tidak salah—sistemnya yang salah. Belum lagi pengaruh pendidikan sekuler dan media liberal yang memuja gaya hidup hedonis, traveling tiap bulan, nongkrong fancy, belanja impulsif, mengejar status sosial. Semua itu membuat pernikahan tampak seperti “penghalang kebebasan”, bukan jalan keberkahan.

Alhasil, lahirlah generasi yang split personality, tampil islami di konten, tapi gaya hidupnya kapitalistik. Beragama, tetapi keputusan hidupnya ditentukan oleh standar duniawi.

Islam Memandang Pernikahan sebagai Kebaikan Besar

Ketakutan ini berbanding terbalik dengan pandangan Islam. Allah berfirman, “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu… Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS An-Nur: 32)

Ayat ini seolah menepuk pundak kita kemiskinan bukan penghalang untuk menikah. Justru keberkahan pernikahan yang akan membuka pintu rezeki.

Rasulullah SAW juga menegaskan, “Ada tiga golongan yang berhak ditolong oleh Allah, salah satunya adalah orang yang menikah untuk menjaga kehormatan.” (HR. Tirmidzi)

Artinya, pernikahan adalah ibadah, penjagaan kesucian, sekaligus jalan datangnya pertolongan Allah. Pernikahan tidak dimaksudkan sebagai beban; ia adalah solusi untuk ketenangan jiwa dan kelanjutan kehidupan.

Namun, di dalam sistem ekonomi yang meniadakan peran Allah dan menggantinya dengan logika pasar, ayat dan hadits ini terdengar seperti utopia. Bukan karena ajarannya tak relevan, tetapi karena sistem yang mengatur kehidupan tidak lagi selaras dengan nilai-nilai tersebut.

Belajar dari Sejarah: Ketika Negara Menjadi Penopang Keluarga

Dalam sejarah Islam, negara hadir bukan sekadar sebagai pemungut pajak atau pembuat regulasi. Ia hadir sebagai rā‘in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung).

Pada masa Umar bin Khattab, negara memberikan tunjangan untuk setiap bayi yang lahir, memastikan para ibu tidak terbebani. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rakyat sampai kesulitan menemukan orang yang mau menerima zakat karena kesejahteraan begitu merata.

其他新闻:
Bencana Datang Bertubi-tubi: Kenapa Penanganannya Selalu Lamban?

Di berbagai era, negara mengelola milkiyyah ammah seperti minyak, tambang, air, dan hutan untuk kepentingan rakyat, bukan untuk swasta atau asing. Hasilnya kembali ke masyarakat melalui terjangkaunya kebutuhan pokok, lapangan kerja luas, layanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, dan stabilitas ekonomi yang membuat pernikahan bukan sesuatu yang menakutkan.

Dengan sistem seperti itu, generasi muda tidak tumbuh dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian membangun keluarga dan peradaban.

Saatnya Mengembalikan Kepercayaan Generasi pada Pernikahan

Pernikahan tidak akan lagi dianggap beban jika biaya hidup ditekan, bukan karena diskon semu, tetapi karena negara mengelola kebutuhan publik secara amanah. Lapangan kerja dibuka seluas-luasnya, bukan hanya untuk kepentingan investor, tetapi untuk kesejahteraan rakyat. Generasi dididik dengan aqidah, bukan dengan standar hedonisme. Dan keluarga diposisikan sebagai institusi agung, bukan sekadar urusan privat.

Ketika kondisi ini terwujud, pernikahan menjadi sumber ketenangan, bukan kecemasan. Islam telah menunjukkan bagaimana sistem hidup berbasis wahyu mampu menciptakan ekosistem yang mendukung keluarga. Bukan berarti masalah hilang sepenuhnya, tetapi generasi tidak dipaksa hidup dalam ketakutan yang diciptakan struktur ekonomi.

Mengakhiri Ketakutan yang Diwariskan Sistem

Generasi muda tidak salah ketika berkata pernikahan itu menakutkan. Mereka hanya sedang merespons realitas dari ekonomi yang pincang dan sistem hidup yang berat sebelah. Namun, Islam mengajarkan bahwa solusi tidak datang dari menunda kebaikan, tetapi dari membangun tatanan hidup yang berpihak pada rakyat, melindungi generasi, dan memuliakan keluarga.

Karena itu, perjuangan menata kembali kehidupan dengan nilai-nilai Islam adalah kunci untuk menghilangkan ketakutan yang hari ini membelenggu. Ketika sistem berpihak pada rakyat, keberanian untuk menikah akan kembali tumbuh—sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah gemilang umat ini.

Wallahu a’lam bishshawab.

订阅评论
提醒
guest
0 评论
内联反馈
查看所有评论

反应

其他新闻

显示更多 正在加载...未找到其他新闻/文章。.