Nova Iriansyah Ulangi Tren Buruk Kelola Keuangan Daerah, Pakar Hukum Tata Negara: Butuh Perhatian Serius dari Carut Marut Ini!

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Pakar Hukum Tata Negara Dr. Teuku Rasyidin SH MH. FOTO/Dok. Pribadi

ADVERTISEMENTS

BANDA ACEH – Pemerintah Aceh yang dipimpin Gubernur Nova Iriansyah kembali mengulang trend buruk dalam pengelolaan keuangan daerah, khususnya berkenaan dengan serapan anggaran. Hal itu disampaikan Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Teuku Rasyidin, SH, MH kepada HARIANACEH.co.id pada Jumat sore (1/7/2022) di Banda Aceh.

ADVETISEMENTS

Menurutnya, tata kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh perlu mendapat perhatian serius dari seluruh stakeholder dan elemen masyarakat Aceh untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya mega SILPA atau kependekan kata dari kalimat “Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan” yang mencapai sisa anggaran hampir Rp 4 triliun atau tepatnya di angka Rp3.933.682.824.260,-.

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

Rasyidin juga menjelaskan, jika kita kata dia atau publik memahami dengan benar makna SILPA yaitu yang sesuai didefinikan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Yaitu sambung dia, SILPA (dengan huruf I besar/capital) adalah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Tahun Berkenaan, yaitu selisih antara surplus/defisit anggaran dengan pembiayaan netto.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

“Dalam penyusunan APBD angka SILPA ini seharusnya sama dengan nol. Artinya bahwa penerimaan pembiayaan harus dapat menutup defisit anggaran yang terjadi,” urai Doktor jebolan Universitas Sumatera Utara (USU) itu.

ADVERTISEMENTS

“SILPA ini perlu dialokasikan untuk menunjang program-program pembangunan di daerah,” terangnya.

ADVERTISEMENTS

Selain Rasyidin menjelaskan tentang definisi SILPA. Ia juga menyebutkan angka SILPA itu ia peroleh berdasarkan data dan informasi yang bersumber dari LKPJ Gubernur Aceh yang disampaikan kepada DPRA.

“Tingginya angka SILPA dalam pelaksanaan anggaran dalam kurun waktu 3 tahun terakhir menjadi indikator bahwa pengelolaan APBA yang dilakukan Pemerintah Aceh masih belum sesuai ekpektasi dan harapan masyarakat Aceh secara luas,” timpalnya lagi.

Masih menurut Rasyidin, penilaian publik soal APBA masih dikelola dengan pola-pola ugalan yang menyebabkan terjadinya inefesiensi, tidak efektif dan responsif kepada kepentingan publik.

Artinya, tambah Rasyidin, Gubernur Nova Iriansyah telah gagal mewujudkan visi dan misinya sepeninggalan mantan Gubernur Irwandi Yusuf.

“Carut marut tata kelola pemerintahan Aceh selama ini harus mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat agar tujuan otonomi khusus Aceh dapat terwujud dengan baik. Jangan biarkan Aceh dalam masalah terus-menerus karena akan memberikan dampak buruk bagi pemerintah pusat khususnya dalam hal pembinaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah,” pintanya.

Atas dasar alasan di atas, Rasyidin meminta Pemerintah pusat lebih cermat dan lebih hati-hati dalam memilih secara selektif menunjuk PJ Gubernur Aceh yang tinggal hanya dalam hitungan beberapa hari ke depan.

“PJ Gubernur Aceh haruslah orang yang mampu menyelesaikan persoalan Aceh secara spesifik, baik dari aspek politik, hukum, ekonomi, sosial dan budaya,” sebutnya.

Jika pemerintah pusat tidak mau ikut disalahkan oleh masyarakat Aceh terkait kinerja Pj Gubernur yang tidak sesuai dengan harapan kata dia. Rasyidin meminta pemerintah pusat untuk menunjuk putra Aceh kali ini yang berkompeten yang ada di Kementerian dalam Negeri yang menjadi PJ Gubernur Aceh sesuai dengan semangat otonomi khusus Aceh.

“Saya khawatir jika PJ Gubernur Aceh bukan berasal dari putra Aceh yang memahami kekhususan dan karakteristik Aceh secara spesifik,” himbau Rasyidin.

Maka, Rasyidin mengkhawatirkan akan ada sentimen pribadi antara Aceh dan pusat apabila nantinya kinerja pejabat Gubernur Aceh yang ditunjuk oleh pemerintah pusat kinerjanya kurang baik dan membawa citra buruk.

“Saya khawatir jika bukan putra Aceh yang menduduki posisi Pj Gubernur Aceh akan muncul citra buruk dan kurang mampu menyelesaikan permasalahan masyarakat Aceh, di mana salah satunya adalah berkenaan dengan tata kelola anggaran yang tidak efisien, efektif dan resposif yang berdampak buruk bagi pembangunan ekonomi Aceh saat ini,” sebut Rasyidin lagi.

Belum lagi bahkan kata Rasyidin, soal tingginya angka kemiskinan yang mencapai 15,53 persen per Maret 2021 s/d September 2021 yang mengantarkan Provinsi Aceh sebagai Provinsi termiskin di Sumatera.

“Selain itu kita lihat lagi persoalan terkait angka pengangguran misalnya. Tingkat pengangguran terbuka Provinsi Aceh di wilayah perkotaan sebesar 8,13 persen pada Agustus 2021. Tentu ini masih tinggi. Ditambah lagi soal regulasi, kemudahan investasi dan berbagai persoalan publik lainnya yang masih carut marut. Harus ada putra Aceh yang saat ini berada di Jakarta yang bisa mencuci piring kerjaan Nova Iriansyah,” tutup Rasyidin.

x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version