Para Istri Sultan Ottoman Diwajibkan Khatam Alquran Berkali-kali Selama Mereka Hamil

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
ADVERTISEMENTS

Sultan Ottoman berlakukan kebijakan wajib khatam Alquran untuk para istri hamil

ADVERTISEMENTS

 JAKARTA— Ibu merupakan faktor vital dalam pendidikan anak sejak usia kandungan. Seperti apa anjuran Nabi Muhammad SAW untuk kaum ibu dalam menumbuh besarkan anak?

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS


“Tentu banyak rambu yang telah diberikan oleh Rasulullah SAW. Di antaranya dorongan untuk menjadi sosok ibu yang lemah lembut,” kata Direktur Pondok Pesantren Tahfidzul Quran (PPTQ) Ibnu Abbas Klaten, Ustadz Dr Hakimuddin Salim Lc MA, dikutip dari Harian Republika, Rabu (9/11/2022). 

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS


Selain itu, kata dia, menjaga kesalehan pribadi dengan baik. Bukan hanya menjaga shalat wajib lima waktu. Dalam proses mengasuh anak, harus dibarengi dengan ibadah.

ADVERTISEMENTS


Misalnya, seorang ibu hamil sangat bagus jika bisa meng khatamkan Alquran sekian kali dalam masa kehamilannya. Ini bagian dari prenatal Qur’anic education. 

ADVERTISEMENTS


“Bahkan, pada masa Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, istri para sultan yang sedang hamil diwajibkan khatam Alquran berkali-kali,” kata dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta tersebut.  

ADVERTISEMENTS


Begitu juga, kata dia, ibu yang hendak menyusui anaknya terlebih dahulu membaca basmalah. Kemudian, berzikir dan bershalawat sejenak. Atau, sambil melafalkan ayat-ayat Alquran. Itu tentu akan sangat berpengaruh positif pada kesalehan anak pada masa yang akan datang. 

ADVETISEMENTS


Dia menambahkan para ibu juga wajib berkomitmen menjaga kehormatan diri, baik dengan menutup aurat di publik maupun menjaga muruah dalam berinteraksi sosial. Ini bukan hanya akan menjaga dirinya, melainkan juga dalam rangka memberikan keteladanan bagi anak.


Dia mengungkapkan, banyak sekali inspirasi kepengasuhan yang bisa kita ambil. Di antaranya adalah riwayat. Rasulullah SAW bersabda:


كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ 


“Setiap anak lahir dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”  


Ustadz Hakimuddin menjelaskan, setidaknya ada tiga inspirasi dari hadis di atas. Pertama, semua anak lahir dalam fitrah, keadaan bertauhid, suci dari segala dosa. Semua manusia sudah pernah bersyahadat kapada Allah SWT di alam ruh sebelum dilahirkan ke dunia. 


Kedua, bahwa yang paling bertanggung jawab untuk menjaga fitrah tersebut adalah orang tuanya. Merekalah yang berperan utama mempertahankan kesucian itu atau justru menyimpangkannya kepada ideologi lain. 


Ketiga, yang disebut dalam hadits itu adalah abawaahu, kedua orang tua, bukan hanya salah satunya. Ini menunjukkan harus ada kerja sama antara ayah dan ibu dalam upaya mendidik anak, menjaga mereka tetap di atas fitrah. Jika seorang ibu sering disebut sebagai sekolah pertama (madrasah ula), ayah mesti berperan kepala sekolah (raisul madrasah). 


Dia menegaskan, menjadi orang tua yang ideal berarti seperti yang dikehendaki oleh Allah dalam Alquran dan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Kunci utamanya adalah keteladanan. 


Ayah dan ibu harus bisa menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Kesalehan pribadi mereka akan sangat berpengaruh pada kesalehan anak. Misalnya, buah hati dalam fase anak-anak (marhalah thufulah) atau fase imitasi.   

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version