Pemicu Ketegangan Antara Sufi dan Para Ahli Fiqih Menurut Imam Al-Qusyairi   

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ahli tasawuf dan pakar fikih kerap berbeda pendapat satu sama lain

ADVERTISEMENTS

JAKARTA— Nasib pahit dialami Syekh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin bin Muhammad al-Qusyairi an-Naisaburi. 

ADVERTISEMENTS


 


Sufi dari abad ke-11 M itu mesti berhadapan dengan para ahli fikih pada masanya. Majelis tasawuf yang didirikannya pun dibubarkan secara paksa oleh amir setempat atas desakan sejumlah fakih. 


 

ADVERTISEMENTS


Tidak cukup dengan itu, dirinya diusir dari kota tempat kelahirannya, Naishapur, India.

ADVERTISEMENTS


 


Bagaimanapun, perlawanan yang kemudian dilakukannya bukan tertuju pada orang-orang tertentu, melainkan ketidaktahuan. 

ADVERTISEMENTS


 

ADVERTISEMENTS


Menurut sufi yang akrab disapa Imam al-Qusyairi ini, kecurigaan dan penghakiman yang tidak adil terhadap kaum salik berpangkal pada kekeliruan dalam memahami dunia tasawuf. 


 


Sebagai contoh, kaum sufi sering kali menggunakan simbol-simbol atau bahasa metaforis untuk menyatakan konsep-konsep, semisal cinta, kerinduan, zuhud, fana, dan baka. Simbolisasi itulah yang kurang atau tidak dapat dipahami secara utuh oleh ahli fikih.


 


Perbedaan pemahaman lalu mengantarkan mereka pada ketegangan antarkelompok yang sesungguhnya sama-sama mendalami ajaran Islam.


Kalangan fukaha, terutama yang dekat dengan penguasa, bahkan tidak segan-segan untuk mengganjar kaum sufi dengan predikat zindik atau fasik.


Akhirnya, terjadilah kekerasan yang sebenarnya dapat diatasi dengan dialog keilmuan.


 


Kenyataan demikian disadari benar oleh al-Qusyairi. Karena itu, ia menulis sebuah buku yang berjudul Ar-Risalah. 


 


Tujuannya meluruskan pemahaman tentang hakikat dan prinsip-prinsip tasawuf. Di samping itu, kitab tersebut juga menggambarkan keadaan pelaku yang berada di jalan spiritual itu. 


 


Al-Qusyairi juga menyoroti sikap banyak fukaha pascagenerasi salaf ash-shalih. Mereka dinilainya telah mengabaikan jalan tasawuf dan budi pekerti, padahal kedua hal itulah yang menjadi pijakan para sahabat Nabi Muhammad SAW. 


 


Kalangan tersebut juga dipandangnya cenderung menyibukkan diri pada masalahmasalah hukum yang sebenarnya tidak substansial dalam ajaran Islam.


 


Oleh karena itu, al-Qusyairi menekankan, berbagai penghakiman yang diserukan kaum fakih anti-tasawuf berangkat dari kekeliruan.


Disiplin tasawuf sesungguhnya tidak keluar walau selangkah semut pun dari dua sumber utama Islam, yaitu Alquran dan sunnah. 


 


Karena itu, kaum salik pada prinsipnya juga menapaki jejak Rasulullah SAW. Dengan perkataan lain, mereka berupaya menjadi generasi penerus salaf ash-shalih.       

sumber : Harian Republika

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version