Hasil Pemeriksaan, Ketua MK Anwar Usman Terbukti Bersalah soal Putusan Batas Usia Capres/Cawapres

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

BANDA ACEH – Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman menjalani pemeriksaan kode etik di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) lebih dari sepekan. 

ADVERTISEMENTS

Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan berdasarkan hasil pemeriksaan Anwar Usman terbukti bersalah telah melaukan nepotisme atas putusan batasan usia capres/cawapres 2023. 

ADVERTISEMENTS

Anwar Usman sebagai ipar dari Jokowi disebut memberikan putusan berpihak pada keponakannya, Gibran Rakabuming agar bisa menjadi Cawapres di Pilpres 2024

ADVERTISEMENTS

Putusan itu masuk dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres.

ADVERTISEMENTS

Hal itu disampaikan oleh Jimly di Gedung MK pada Jumat (3/11/2023). 

ADVERTISEMENTS

“Iyalah,” kata Jimly

ADVERTISEMENTS

Jimly mengungkapkan jika Anwar Usman merupakan hakim yang paling banyak dilaporkan.

ADVERTISEMENTS

“21 semuanya,” jelas Jimly.

ADVERTISEMENTS

Dia menjelaskan pihaknya memiliki waktu 30 hari untuk memproses seluruh laporan.

ADVERTISEMENTS

Namun Jimly merasa bersyukur karena ia mampu menyelesaikannya dalam tempo 15 hari.

Jimly pun boleh berbangga karena seluruh proses sidang pemeriksaan pelapor, sudah selesai.

Kini MKMK hanya tinggal memeriksa Anwar Usman yang dilakukan pada hari ini Jumat, 3 November 2023.

“Tinggal kami merumuskan putusan dan itu butuh waktu, karena semua laporan itu harus dijawab satu per satu,” kata Jimly.

Kemudian terkait bukti-bukti penguat dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Jimly Asshiddiqie mengatakan semuanya sudah lengkap.

Bukti-bukti tersebut termasuk keterangan ahli, saksi, rekaman kamera pengawas atau CCTV, dan sejumlah surat-menyurat.

Menurut Jimly untuk kasus ini ia tak merasa kesulitan untuk membuktikannya.

“Lagipula ini kasus tidak sulit membuktikannya,” kata Jimly.

Dan terkait bukti-bukti yang menguatkan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Jimly berujar jika itu adalah permasalahn tentang perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang ditarik kembali, kisruh internal, dan perbedaan pendapat yang bocor ke luar.

“Informasi rahasia kok sudah pada tahu semua, ini membuktikan ada masalah,” kata Jimly.

Respons Anwar Usman

Anwar Usman mengaku tidak ikut memutuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang menolak gugatan terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres).

Alasannya karena dirinya tertidur setelah minum obat.

“Saya sakit tetapi tetap masuk. Saya minum obat. Saya ketiduran,” ujar Anwar Usman setelah diperiksa Majelis Kehormatan MK (MKMK) dikutip dari Kompas.com pada Jumat (3/11/2023).

Jawaban itu dilontarkannya perihal keberadaan surat keterangan sakit sebagai bukti.

Anwar juga membantah kabar bahwa ketika itu dirinya tak ikut memutus perkara karena ingin menghindari konflik kepentingan.

“Saya bersumpah, demi Allah, saya sumpah lagi, saya memang sakit,” katanya.

“Saya ini sudah jadi hakim dari tahun 1985, alhamdulillah. Saya tidak pernah melakukan sesuatu yang menyebabkan saya berurusan seperti ini,” ujar Anwar lagi.

Sebelumnya, dugaan kebohongan perihal alasan Anwar Usman tidak ikut RPH untuk memutus tiga perkara diperoleh MKMK setelah menerima informasi dari para pelapor dan kemudian dikonfirmasi terhadap para hakim konstitusi yang diperiksa hingga Rabu (1/11/2023).

Saat itu, MKMK telah memeriksa enam hakim konstitusi, yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo.

“Kan waktu itu alasannya kenapa tidak hadir ada dua versi, ada yang bilang karena (Anwar) menyadari ada konflik kepentingan, tapi ada alasan yang kedua karena sakit. Ini kan pasti salah satu benar, dan kalau satu benar berarti satunya tidak benar,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie kepada wartawan, Rabu (1/11/2023) sore.

Kronologi mengenai mangkirnya Anwar Usman dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) putusan 29, 51, dan 55/PUU-XXI/2023 itu sebelumnya diungkap oleh hakim konstitusi Arief Hidayat lewat pendapat berbeda (dissenting opinion) putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/20243.

Arief mengatakan, pada 19 September 2023, delapan dari sembilan majelis hakim konstitusi menggelar RPH membahas putusan perkara nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 yang juga berkenaan dengan gugatan usia minimum capres-cawapres.

“RPH dipimpin oleh Wakil Ketua (Saldi Isra) dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir. Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.

“Disebabkan, isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai Politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo,” ujarnya lagi.

Tanpa Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko WIdodo (Jokowi) itu, RPH menghasilkan putusan tegas dan konsisten dengan sikap Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu berkaitan dengan syarat usia jabatan publik, yakni urusan itu merupakan ranah pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah).

MK pun menolak gugatan yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan para kepala daerah itu.

Namun, menurut Arief, Anwar ikut serta dalam RPH berikutnya yang juga sama-sama membahas gugatan usia minimal capres-cawapres pada perkara nomor 90.

Ketika ditanya Arief, Anwar menjelaskan bahwa ia tak ikut memutus perkara PSI, Garuda, dan para kepala daerah sebelumnya karena alasan kesehatan.

“Bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” kata Arief Hidayat dalam pendapat berbedanya.

Dengan kehadiran Anwar Usman, sikap MK mendadak berbalik dan menyatakan bahwa kepala daerah dan anggota legislatif pada semua tingkatan berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum 40 tahun, lewat Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial.

Kemudian, atas dasar putusan MK itu diketahui bahwa putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka bisa mengikuti Pilpres 2024 walaupun usianya belum mencapai 40 tahun tetapi berbekal pengalaman menjabat sebagai Wali Kota Solo selama hampir tiga tahun.

MK Tak Ikut Tolak Gugatan Batas Usia Capres-Cawapres

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak tiga gugatan uji materi soal batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Meski demikian, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman diketahui tidak ikut memutus tiga gugatan dalam sidang putusan yang digelar di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat pada Senin (16/10/2023).

Dalam kesempatan tersebut, Anwar Usman yang merupakan ipar dari Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) itu hanya memimpin sidang putusan.

Anwa Usman tidak termasuk dalam jajaran hakim yang memutuskan menolak gugatan yang diduga untuk meloloskan Putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk maju Pilpres itu.

Jajaran hakim konstitusi dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) itu antara lain, Saldi Isra selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah.

Dalam putusannya, MK resmi menolak tiga gugatan uji materi batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Ketiga gugatan tersebut antara lain, perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi, yang meminta batas usia minimum capres-cawapres dikembalikan ke 35 tahun.

Dalam beberapa kesempatan teranyar, partai politik bernomor urut 15 itu kerap hadir dan akrab dalam acara-acara Koalisi Indonesia Maju yang digawangi Partai Gerindra, partai besutan Prabowo.

Pada perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda, “pengalaman sebagai penyelenggara negara” diminta dapat menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun.

Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, adalah adik politikus Gerindra, Ahmad Riza Patria.

Sementara itu, pada perkara nomor 55/PUU-XXI/2023, duo kader Gerindra, yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, mengajukan petitum yang sama dengan Partai Garuda.

Selain itu, MK juga akan memutus perkara sejenis pada perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Almas Tsaqibbirru, 91/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Arkaan Wahyu, 92/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Melisa Mylitiachristi Tarandung, serta 105/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.

Dikutip dari Kompas.com, atas putusan MK ini, syarat usia minimal seseorang untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden tetap 40 tahun.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).

Gugatan yang ditolak tersebut tercatat sebagai perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

Para pemohon mempersoalkan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun”.

Perkara nomor 29/PUU-XXI/2023 diajukan oleh kader sejumlah kader Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pada 16 Maret 2023.

PSI meminta batas usia minimum capres-cawapres dikembalikan ke 35 tahun.

Lalu, dalam perkara nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan Partai Garuda pada 9 Mei 2023, “pengalaman sebagai penyelenggara negara” diminta dapat menjadi syarat alternatif selain usia minimum 40 tahun.

Sementara itu, dalam perkara nomor 55/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan pada 17 Mei 2023, sejumlah kepala daerah mengajukan petitum yang sama dengan Partai Garuda.

Sejumlah kepala daerah yang mengajukan gugatan tersebut yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Mojokerto Muhammad Al Barra.

Mahkamah berpandangan, perihal aturan batas usia capres-cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, dalam hal ini presiden dan DPR.

“Dalam hal ini, Mahkamah tidak dapat menentukan batas usia minimal bagi calon presiden dan calon wakil presiden karena dimungkinkan adanya dinamika di kemudian hari,” ujar hakim Saldi Isra.

Sumber: Gelora

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version