Bagi-bagi Bansos dan Politik Gentong Babi

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Pork Barrel Politics atau Politik Gentong Babi. FOTO/Finance Reference. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ADVERTISEMENTS

MESKIPUN gelaran Pemilu pada Rabu, 14 Pebruari 2024, dilakukan serentak di seluruh Indonesia telah rampung digelar. Namun, ada hal menarik yang menyisakan tanda tanya hingga kini. Pasalnya, menjelang pemilu masyarakat diguyur bansos, salah satunya BLT Rp 200 ribu per bulan mulai dari Januari, Pebruari dan Maret yang dicairkan sekaligus Rp 600 ribu.

ADVETISEMENTS

Masih dikutip dari cnnindonesia.com, pemerintah telah menganggarkan dana bansos sebesar Rp 11, 2 triliun di tengah masa kampanye Pemilu dan Pilpres 2024. Bantuan tunai tersebut nantinya bakal diberikan sekaligus pada Pebruari 2024 kepada 18 juta keluarga penerima manfaat (KPM) serta bantuan beras 10 kg per bulan yang akan diberikan kepada 22 juta orang hingga Juni 2024.

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

Menurut pengamat politik Ikrar Nusa Bakti, menyoroti aksi bagi-bagi bansos yang telah dilakukan ada dugaan bahwa aksi tersebut bagian dari membeli suara rakyat.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Dalam program Newsline Metro TV, Rabu 24 Januari 2024 Ikrar mengatakan, “aksi bagi-bagi bansos secara membabi buta dengan menggunakan fasilitas negara. Membagi-bagikan beras yang boleh dikatakan itu sebagai cadangan negara bukan mustahil bahwa ini adalah bagian dari membeli suara rakyat.”

ADVERTISEMENTS

Masih dikutip dari medcom.id, kecurigaan semakin bertambah manakala muncul pernyataan presiden boleh memihak dan berkampanye. Sebab itu merupakan haknya sebagai pejabat politik. Pengakuan ini tentu sangat kontradiktif dengan pernyataan 3 bulan sebelumnya yang menyerukan agar semua pejabat pemerintah di berbagai level bersikap netral.

ADVERTISEMENTS

Menariknya, aktivitas bagi-bagi bansos yang telah dilakukan oleh para pejabat politik diberbagai level disinyalir dijadikan sebagai alat untuk merayu konstituen demi meningkatkan elektabilitas dikenal dengan istilah politik gentong babi (pork barrel politics).

Selain untuk meraih elektabilitas, aksi bagi-bagi bansos penguasa kepada masyarakat seolah-olah sebagai juru selamat, pemerintah peduli terhadap kondisi rakyatnya padahal pemerintah sedang melakukan pembohongan publik dengan menggunakan anggaran negara dan secara terang-terangan memperlihatkan dirinya sebagai backingan kandidat tertentu.

Jurnal politik pork barrel di Indonesia (2011) yang ditulis oleh Antonius Saragintan dan Syahrul Hidayat menggambarkan, itu gentong babi adalah usaha pertahana untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana, dengan tujuan tertentu. Hal ini dilakukan oleh para petahana untuk membuat dirinya terpilih kembali dalam pemilihan umum dan menjabat selama beberapa tahun kedepan.

Politik gentong babi sendiri merupakan istilah yang mengacu pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Saat itu budak-budak di Amerika serikat saling berebut demi mendapatkan daging babi yang diawetkan di dalam gentong. Dengan pemberian ini, maka sang budak akan merasa bahwa tuannya sudah berlaku baik. Sehingga mereka akan terus bekerja sebagai budak untuk tuannya.

Bahkan dalam sebuah film dokumenter berdurasi 2 jam yaitu Dirty Vote, disampakan bahwa banyak masyarakat yang tidak sadar jika sesungguhnya kebodohan warga adalah upaya eksploitasi karena rasa perut yang lapar.

Wajar jika akhirnya rakyat tidak peduli lagi jika cara-cara yang digunakan oleh petahana menggunakan cara-cara yang haram dan menyalahi syariat. Sekalipun menyalahi logika publik, menjual sumber daya alam kepada asing dan aseng, pembangunan IKN terus digenjot di tengah menggunungnya hutang negara. Ini tidak bisa dilepaskan karena sistem politik yang digunakan masih berakar pada demokrasi. Mereka akan terus melakukan cara curang untuk mempertahankan kekuasaannya mengingat di dalam demokrasi sendiri jatah menjadi untuk menjadi pemimpin negara hanya dua periode atau 10 tahun yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang 1945.

Adanya pembatasan ini muncul sebuah idiom bahwa dalam demokrasi kekuasaan yang terlalu lama memegang kendali pemerintahan, menyebabkan terjadinya otoritarian. Dan jika otoritarian terjadi, maka potensi penyalahgunaan kekuasaan dan terjadinya tindak pidana korupsi akan semakin besar.

Berbeda dalam sistem politik Islam tidak ada batasan seberapa lama kepala negara menjabat. Sebab keputusan itu diserahkan kepada syarak bukan kepada rakyat. Syarak telah memutuskan pemimpin yang sudah memenuhi syarat-syarat sah yang ditentukan oleh syariat maka memiliki hak untuk memimpin tanpa ada batasan waktu tertentu selama hukum-hukum yang diterapkan adalah hukum-hukum Islam.

Jabatan sebagai kepala negara akan diturunkan apabila terdapat pelanggaran hukum-hukum syarak atau karena kepala negara tersebut sakit karena usia tidak mampu lagi untuk memegang tampuk kepemimpinan atau kepala negara tersebut berada dalam tawanan musuh. Maka kaum muslimin harus segera mengangkat kepala negara dalam tinjauan fikih disebut Khalifah.

Tujuan diangkatnya Khalifah adalah dalam rangka mengurusi rakyat (ra’in). Rasulullah Saw bersabda,”Imam (Khalifah) adalah ra’in, pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab atas kepengurusannya.”(HR.al-Bukhari)

Penguasa di dalam Islam hanya disibukan menjalankan tugas-tugas apa yang telah menjadi amanahnya. Sehingga peluang penguasa bermental korup dan nepotisme untuk melanggengkan kekuasaannya sudah sangat gamblang sepanjang sejarahnya tidak pernah dijumpai sama sekali karena memahami bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Selain itu negara akan memberikan tunjangan kepada para pejabat yang diambil dari Baitul Mal untuk kebutuhan hidupnya dan keluarganya saja. Tidak boleh lebih dari itu. Bahkan Imam Ali mengatakan hanya untuk memenuhi makan siang dan makan malam saja. Ini hanya sebuah kiasan jika uang negara hanya boleh diambil khalifah untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pokok saja seperti makan, minum, sandang, papan secukupnya.

Kondisi ini pernah terjadi ketika Umar bin Khattab menjadi khalifah ia tidak mengambil jatah tunjangannya cukup lama hingga suatu saat ia merasa butuh untuk mencukupi kebutuhannya.

Umar mengambil tunjangan yang dia ambil dari Baitul Mal, Umar mengatakan, “Aku memosisikan diriku di hadapan harta Allah seperti seorang wali anak yatim. Bila aku sudah merasa cukup maka aku tidak mengambilnya bila aku membutuhkannya maka aku akan makan dengan cara yang makruf.”

Wallahu’alam.

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version