Semula, pada 2019, Kemenkeu merinci skema pembiayaan berbagai sarana IKN yang bernilai Rp 466 triliun adalah sbb (27/8/2019):
Melalui APBN (20 persen): Infrastruktur pelayanan dasar; Istana dan bangunan strategis TNI/Polri; Rumah dinas PNS/TNI/Polri; Pengadaan lahan; Pangkalan militer; dan RTH.
Melalui Swasta (26 persen): Perumahan umum; Perguruan tinggi; Peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol; Sarana kesehatan; Shopping mall; MICE.
Melalui KPBU (54 persen): Gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif; Infrastruktur selain tercakup APBN; Sarana Pendidikan & Kesehatan; Museum LP; Sarana penunjang.
Belakangan Jokowi mengatakan porsi APBN hanya Rp 90 triliun dan dipakai untuk kawasan inti berisi gedung-gedung istana dan kementrian (22/2/2022). Dalam hal ini, menurut logika umum, kawasan inti mestinya juga termasuk kantor-kantor legislatif dan yudikatif (silakan rujuk Canberra atau Washington).
Karena banyaknya sarana atau gedung yang akan dibangun, maka anggaran Rp 90 triliun tersebut pasti tidak cukup. Artinya, agar porsi APBN terkesan rendah (hanya 20 persen) diduga telah terjadi manipulasi informasi.
Di sisi lain, jika gedung-gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif benar akan dibangun melalui skema KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha), maka akan terjadi pula pelanggaran aturan. Sebab pembangunan melalui skema KPBU pada prinsipnya melibatkan swasta. Sementara, yang dibangun kantor-kantor lembaga negara yang merupakan objek vital nasional (obvitnas). Jelas membangun obvitnas sesuai skema KPBU melanggar aturan.
Sebenarnya, sesuai Pasal 5 Perpres No.38/2015 tentang KPBU, sarana yang boleh dikerja-samakan melalui KPBU adalah sarana ekonomi dan sosial. Sarana gedung eksekutif, legislatif dan yudikatif jelas tidak eligible memakai skema KPBU. Jika tetap dipaksakan, maka terjadi pembisnisan obvitnas guna memberi untung BESAR bagi swasta, asing dan oligarki, namun sekaligus menggadaikan kedaulatan negara dan martabat bangsa.
Selanjutnya, meski pembangunan melalui skema KPBU, pada akhirnya pemerintah harus membayar biaya sewa menggunakan APBN. Bahkan biaya yang ditanggung pasti lebih besar, sebab dalam skema KBPU terkandung unsur profit. Belum lagi jika nilai proyek dimark-up (5-6 tahun terkahir meningkat), maka biaya sewa dan beban APBN semakin berat.
Karena itu, meski sarana IKN dibangun swasta (skema KPBU dan swasta murni), pada akhirnya tanggungan APBN sangat besar dan berlangsung bertahun-tahun sebagai beban bagi generasi mendatang.
Di sisi lain pihak swasta dan oligarki akan mendapat untung BESAR. Sebab rente BESAR-lah yang jadi motif pemindahan IKN. Maka bagi oligarki proyek IKN baru meruapakan pertaruhan besar yang tidak boleh gagal. Berbagai upaya ditempuh, termasuk membentuk UU IKN hanya 43 hari melalui proses inskonstitusional, melanggar UU, dan diduga sarat moral hazard.
Berikutnya, dimotori LBP, sedang dicari cara agar Presiden Jokowi menjabat 3 periode. Tak tertutup kemungkinan “tercipta” kondisi darurat yang membuat terbitnya “dekrit” dan berujung pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Sesuai konstitusi, negara didirikan guna melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Uraian di atas menunjukkan dengan memaksakan proyek IKN secara otoriter, pemerintah gagal menjalankan tugas konstitusional, karena lebih memihak kepentingan sekelompok pengusaha, oligarki kekuasaan dan asing, sekaligus tidak peduli nasib rakyat.
Jika sepak terjang LBP dan Jokowi ini dibiarkan, proyek IKN oligarkis tetap dilanjutkan, maka keadilan sosial dan tujuan pendirian NKRI gagal tercapai. Rakyat harus melawan!
(Penulis adalah Direktur Eksekutif Indonesia Relief Rescue (IRRES), yang juga Koordinator Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN)