Indahnya Saling Memaafkan, Idul Fitri Saatnya Akhiri Cebong Vs Kampret

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi Kampret vs Cabong. FOTO/Liputan6

ADVERTISEMENTS

Memaafkan itu lebih utama daripada meminta maaf terlepas siapa yang salah.

ADVERTISEMENTS

Penulis: Aswar Hasan** 

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

MOMEN lebaran Idul Fitri dimeriahkan dengan ucapan permintaan maaf dari lahir hingga batin. Ucapan semacam itu, bertebaran di media sosial, di iklan media mainstream ataupun di setiap momen perjumpaan secara fisik, terucap kata: “Mohon Maaf Lahir Batin”.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Ya, meminta maaf lahir batin, sudah merupakan  Kebutuhan  manusia yang tak luput dari salah dan khilaf. Kita pun baru merasa tenang dan kembali normal saling bersilaturrahmi, jika sudah saling memaafkan.

ADVERTISEMENTS

Sesungguhnya, dalam konteks  akhlak Islamiyah, yang paling ditekankan adalah mengutamakan point diksi memaafkan bukan meminta maaf. Karena faktor kultur, sosiologis dan  psikologis, masyarakat pun mendahulukan meminta maaf.

ADVERTISEMENTS

Sementara itu, pengarusutamaan untuk lebih mengutamakan memaafkan pun, menjadi faktor terkemudiankan. Akhirnya, yang lebih memasyarakat adalah pilihan untuk memulai mengajukan/menyampaikan permintaan maaf.

ADVERTISEMENTS

Padahal, menurut Pakar Tafsir Alquran Quraish Shihab, hampir tidak ditemukan dalam Alquran perintah untuk meminta maaf. Meminta maaf tidak perlu diperintahkan, karena meminta maaf hanya datang jika seseorang menyadari kesalahannya, sehingga dengan tulus memintanya (Liputan6.com, 13/5-2019).

ADVETISEMENTS

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).

Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang”. (QS An-Nuur :22)

“Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (Q.S. al Mujadilah:2).

Dipertegas lagi dengan hadits, bahwa: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah  bersabda: “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan (HR Ath-Thabrani).

Jadi, mendahului dengan inisiatif untuk memaafkan, adalah hal yang diutamakan,: “Rasulullah SAW bersabda, “Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada,” (HR. Bukhari dan Ad Dailani).

“Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah).” (HR. At Tabrani). Jadi, sesungguhnya yang ideal itu adalah memasyarakatkan untuk saling memaafkan bukan sekadar menyemarakkan untuk saling meminta maaf. “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan”. (HR Ath-Thabrani).

Memaafkan itu adalah refleksi dari resultante puasa selama Ramadhan, yaitu taqwa. Dengan kata lain, memaafkan itu adalah manifestasi dari taqwa sebagai hasil penggodokan Iman selama ramadan ( QS. 2 :183, 3: 133,134).

Karenanya, jika seseorang yang justru terlebih dahulu datang meminta maaf, maka secara akhlak Islami, wajib hukumnya untuk memaafkannya. Jika tidak juga mau memaafkan, maka jangan harap diberi kesempatan untuk mendatangi telaga Al Kausar: “Barangsiapa yang didatangi  saudaranya yang hendak meminta maaf, hendaklah memaafkannya, apakah ia berada di pihak  yang benar ataukah yang salah, apabila tidak melakukan hal  tersebut (memaafkan), niscaya tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat) (HR Al-Hakim).

Sungguh, memaafkan itu lebih utama daripada meminta maaf terlepas siapa yang salah. Termasuk bagi yang telah merasa terzalimi.

“Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan (HR Ath-Thabrani).

Akhiri Cebong Vs Kadrun

Salah satu residu politik demokrasi yang hingga saat ini masih kerap menggores rasa ukhuwah wathaniyah (solidaritas kebangsaan) kita, adalah terciptanya demarkasi silaturahim akibat provokasi diksi antara cebong dan kadrun. Perselihan antara kedua kubu tersebut, yang berawal dari stereotype perbedaan pilihan politik, kini telah menjadi stigmatisasi yang merembes ke hampir semua dimensi sisi kehidupan berbangsa. Fenomena tersebut, sungguh tak sehat untuk dibiarkan makin berkembang hingga acapkali menjadi bumbu candaan kehidupan yang sesungguhnya telah meracuni rasa solidaritas kebangsaan kita.

Diksi stereotype yang stigmatik antara Cebong vs Kadrun sudah saatnya diakhiri di momentum Idul Fitri kali ini. Dalam konteks itulah, pilihan untuk mendahulukan untuk saling memaafkan menjadi sangat relevan.

Betapa tidak, karena menunggu siapa yang memulai untuk meminta maaf secara psikologis pasti akan terkendala. Terlebih jika inisiatif meminta maaf dari salah satu pihak terpublikasi melalui media mainstream, terlebih utama di media sosial yang acapkali maksud baik terbelokkan menjadi tidak baik.

Sementara itu jika kedua belah pihak saling berlomba untuk mendahului dalam rangka saling memaafkan, maka efek psikologisnya akan lebih positif, di mana para pihak terkait langsung atau tidak, tipis peluangnya untuk mempolitisirnya, karena khawatir justru akan mendapat serangan balik dari rasa kebersamaan publik yang menginginkan kebaikan bersama. Masyarakat pasti mendambakan perdamaian.

Terkait sifat dan sikap untuk memberi maaf, Ulama Sufi Surri Al Suqthi, ketika ditanya prilaku memaafkan, beliau pun membaginya menjadi lima macam. Pertama, memberi maaf karena pembawaan yang merupakan karunia Allah untuk hamba-Nya; dengannya ia memaafkan orang yang berbuat zalim terhadap dirinya.

Kedua, sifat memberi maaf yang dilakukan seorang hamba yang mengendalikan amarahnya karena mengharap pahala sedangkan hatinya tidak suka. Ketiga, pemberian maaf yang tercelah, yaitu memamerkan pemberian maaf kepada orang yang berbuat jahat agar dianggap dirinya pemaaf. Orang seperti ini, sebenarnya pendendam terselubung.

Keempat, pemberian maaf dengan sombong, dan memandang lawannya hanya cukup sekadar dimaafkan, tanpa perlu lagi diajak berteman. Kelima, pemberian maaf sebagai penghinaan dan harga diri ( Izzan, Ahmad. “Laa Taghtarr”, 2006).

Terlepas berada di posisi mana ketika bersedia untuk saling memaafkan tanpa menunggu siapa yang harus memulai meminta maaf, itu jauh lebih baik dan lebih memberi kemaslahatan bersama, jika dibanding menunggu siapa yang harus lebih dahulu meminta maaf. Pilihan terakhir menunggu siapa yang harus lebih dahulu meminta maaf, terancam sama halnya dengan pameo menunggu godot, yang tak pernah datang. Wallahu A’lam.

**). Penulis adalah Deklarator KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) Sulawesi Selatan, KPI Pusat Periode 2019/2022, Dosen tetap Ilmu Komunikasi Fisip Unhas Makassar

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version