Kamis, 16/05/2024 - 03:12 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

LIFESTYLE

Empat Obat yang tak akan Diresepkan Lagi oleh Dokter

Keempat obat tersebut kini telah ditarik dari peredaran dan tak diresepkan lagi.

ADVERTISEMENTS
QRISnya satu Menangnya Banyak

JAKARTA — Sebelum obat didistribusikan secara luas, ada serangkaian uji klinis yang harus dilalui untuk memastikan efikasi dan keamanan obat tersebut. Namun, industri farmasi kadang bisa melakukan kesalahan, sehingga membuat obat yang sebenarnya berbahaya jadi beredar di tengah masyarakat.

ADVERTISEMENTS
Bayar PDAM menggunakan Aplikasi Action Bank Aceh Syariah - Aceh Selatan


Kekeliruan seperti ini sempat terjadi pada empat obat resep dokter. Di Amerika Serikat (AS), keempat obat tersebut kini telah ditarik dari peredaran dan tak bisa diresepkan lagi oleh dokter. Berikut ini adalah keempat obat tersebut, seperti dilansir laman BestLife, baru-baru ini:

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat & Sukses ada Pelantikan Direktur PT PEMA dan Kepala BPKS


1. Vioxx untuk arthritis

ADVERTISEMENTS
Selamat Memperingati Hardiknas dari Bank Aceh Syariah


Vioxx merupakan inhibitor COX-2 yang dulu umum digunakan untuk mengobati arthritis. Namun pada 2004, Merck & Co selaku produsen menarik obat tersebut dari peredaran setelah ada pemberitaan bahwa obat ini berkaitan dengan sekitar 88 ribu kejadian serangan jantung pada 1999-2003. Sebanyak 38 ribu kasus di antaranya merupakan serangan yang fatal.

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh


Ketika obat ditarik, diperkirakan ada lebih dari 20 juta pasien yang sudah menggunakan Vioxx. Kekeliruan ini membuat produsen harus membayar ganti rugi sebesar 4,85 miliar dolar AS atau sekitar Rp 72,2 triliun. Ini menjadi biaya ganti rugi terkait obat yang terbesar sepanjang sejarah.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action
Berita Lainnya:
Apa Itu Fenomena Heat Stroke, Cuaca Panas Ekstrem yang Sebabkan Kematian di Thailand?


2. Bextra

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA


Valdecoxib dengan merek dagang Bextra merupakan obat antiperadangan nonsteroid (NSAID) yang dulu pernah digunakan untuk pereda nyeri. Pada 2005, peneliti menemukan bahwa obat ini menyebabkan komplikasi kardiovaskular yang serius dan terkadang fatal, seperti serangan jantung dan strok. Dalam kasus yang lebih langka, Bextra juga menyebabkan reaksi kulit yang fatal bernama sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis.

ADVERTISEMENTS


Di sisi lain, Bextra juga tak memiliki keunggulan lebih bila dibandingkan dengan pereda nyeri lain yang tak menyebabkan komplikasi serius. Berdasarkan pertimbangan ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) di Amerika Serikat (AS) mencabut izin edar untuk Bextra.

ADVERTISEMENTS


3. Belviq untuk penurunan berat badan


Lorvaserin dengan merek dagang Belviq atau Belviq XR sebelumnya kerap diresepkan sebagai obat penurun berat badan. Obat ini mendapatkan izin edar pada 2012.

Berita Lainnya:
WHO: Flu Burung Berpotensi Jadi Pandemi Berikutnya, Tingkat Kematian Sangat Tinggi


Namun pada 2022, Food and Drug Administration menginstruksikan para dokter untuk berhenti meresepkan obat ini. Alasannya, sebuah studi menemukan adanya hubungan antara obat ini dengan kanker. Berdasarkan temuan ini, para ahli dari Food and Drug Administration menilai bahwa Belviq memiliki risiko yang lebih besar dibandingkan manfaatnya.


4. Raptiva untuk psoriasis


Efalizumab dengan merek dagang Raptiva merupakan obat yang diinjeksikan sepekan sekali pada orang dewasa dengan plak psoriasis yang berat. Akan tetapi, pada 2009, pihak produsen Raptiva secara sukarela menarik obat tersebut dari peredaran.


Penarikan ini dilakukan setelah peneliti menemukan bahwa penggunaan Raptiva bisa berdampak buruk bagi penderita progressive multifocal leukoencephalopathy atau PML. PML merupakan penyakit neurologis yang langka namun serius. Penyakit ini disebabkan oleh virus yang dapat menyerang sistem saraf pusat. Belum ada terapi yang terbukti efektif untuk mengobati PML.


Sebenarnya, kemungkinan pengguna Raptiva untuk terkena PML sangat langka. Akan tetapi, penggunaan Raptiva bisa menjadi fatal bila penggunanya terkena PML pada kemudian hari. 


 


 


 width= Virus-free.www.avast.com

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi