Israel Diduga Curi 600 Juta Meter Kubik Air Milik Palestina 

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
ADVERTISEMENTS

Air merupakan komponen utama dalam konflik Palestina-Israel.

ADVERTISEMENTS

 RAMALLAH — Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh menuduh Israel mencuri 600 juta meter kubik air dari total 800 juta meter kubik air milik Palestina.

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS


Israel kemudian mengalihkannya ke kota-kota serta permukiman Yahudi. Shtayyeh mengatakan dua pertiga air tanah Palestina di Tepi Barat digunakan di Israel.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS


Dugaan pencurian ini sejalan dengan rata-rata konsumsi air warga Israel. Orang Israel mengkonsumsi 430 liter air per hari. Sementara orang Palestina hanya mengkonsumsi 72 liter per hari, atau jauh lebih sedikit dari rata-rata global, yaitu 120 liter per hari.

ADVERTISEMENTS


“Kami berjuang untuk hak atas air kami, dan lebih banyak kerja sama dengan negara Arab di sektor air,” kata Shtayyeh, dilaporkan Middle East Monitor, Senin (28/11/2022).

ADVERTISEMENTS


Shtayyeh menjelaskan pemerintah Palestina menerapkan strategi pemanenan air, dan telah meluncurkan proyek bendungan di Wadi Al-Far’a. Termasuk mengerjakan pembangunan proyek desalinasi air besar di Gaza, yang didanai oleh Uni Eropa dan donor lainnya.

ADVERTISEMENTS


Shtayyeh menjelaskan, pemerintahannya telah menginvestasikan sekitar 500 juta dolar AS dalam proyek air dan sanitasi. Dia memperingatkan, Laut Mati terancam mengalami kekeringan total pada 2044 karena tindakan Israel. Sejauh ini, Israel telah mengalihkan sumber daya air di Laut Mati, termasuk menambang mineral dan garam.

ADVETISEMENTS


“Air di dunia Arab adalah masalah politik dan ekonomi yang memerlukan visi strategis, dan negara kita menghadapi tantangan nyata terkait kelangkaan sumber daya air dan pencurian,” ujar Shtayyeh.


Shtayyeh menjelaskan, air merupakan komponen utama dalam konflik Palestina-Israel. Dia menambahkan, permukiman pertanian Israel bertujuan mengontrol sumber daya air sejak awal konflik.


“Walaupun pentingnya solusi teknologi untuk krisis air, itu bukanlah pengganti realisasi hak atas air berdasarkan hukum internasional, untuk memenuhi kesenjangan antara ketersediaan sumber daya air dan kebutuhan yang meningkat dengan peningkatan jumlah penduduk,” kata Shtayyeh. 

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version