Melihat kecenderungan perilaku korporasi yang mengeruk keuntungan setinggi-tingginya itu, para ahli pidana sudah sejak lama meletakkan industri farmasi sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan (Braithwaite, 1984/2014). MenurutBraithwaite kejahatan korporasi dalam industri farmasi, terjadi dalam aspek yang luas, yang mengakibatkan kerugian besar pada konsumen. Perusahaan farmasi kerap terlibat dalam tindakan ilegal, tidak etis dan berbahaya seperti penyuapan, menggunakan proses produksi yang berbahaya, kelalaian dan penipuan dalam pengujian keamanan obat.
Pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan farmasi termasuk dalam beberapa kategori, diantaranya manipulasi desain dan temuan uji klinis, serta kesalahan penyajian temuan tersebut dalam jurnal medis dan ilmiah; pemasaran dan promosi produk farmasi yang curang dan ilegal; kelebihan produksi obat-obatan berbahaya, seperti kegagalan produsen untuk mengawasi dan memantau para pengedarobat-obatan tersebut; dan upaya untuk melemahkan kekuatan badan pengawas obat (Sillup and Porth 2008).
Dalam proses produksi, kecurangan bisa terjadi pada saat pemilihan bahan baku, komposisi obat. Dalam proses pemasaran obat, kecurangan bisa terjadi akibat kolusi antara perusahaan farmasi dengan dokter atau rumah sakit dan apotik, serta iklan yang tidak sesuai.
Merespons hal tersebut, sejumlah negara telah memberi perhatian dengan memberi sangsi tegas bagi kejahatan pidana yang dilakukan industri farmasi. Di Amerika misalnya, selama rentang 1991 hingga 2022 terdapat 20 kasus besar terkait pidana korporasi yang melibatkan industri farmasi. Diantaranya tiga kasus dengan pidana tertinggi, adalah Glaxo Smith Kline, kasus Pfizer, Johnson & Johnson, Laboratorium Abbott yang sudah diberikan sangsi tegas. Tindak pidana yang dilakukan meliputi promosi di luar label, kegagalan untuk mengungkapkan data keamanan, membayar suap kepada dokter, membuat pernyataan palsu dan menyesatkan konsumen mengenai keamanan produk.
Begitu juga di Jepang, perusahaan farmasi Takeda Pharmaeceutical, di tahun 2015 menghadapi ratusan gugatan terhadap produk obat diabetes actors. Obat itu ditengarai meningkatkan resiko kanker. Perusahaan ini dikenai denda US$ 2,4 Miliar.
Jerat Pidana Kejahatan Korporasi
Merespon maraknya balita tumbang akibat penggunaan obat sirup beracun itu, Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan surat edaran untuk menghentikan penggunaan obat sirup. Surat Edaran itu ditindaklanjuti oleh Bareskrim Polri dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan melakukan penyelidikan.
Dari penyelidikan yang dilakukan Bareskrim Polri dan BPOM ditemukan dalam produk obat sirup AF, YF, UPI terdapat kandungan Etilen Glikol dan Dietilen Glikol dengan jumlah melebihi ambang batas yang diperbolehkan BPOM. Dengan temuan itu maka Bareskrim Polri menetapkan empat korporasi sebagai tersangka, yaitu PT AF, PT YF, PT UPI, dan CV SC.
CV SC sebagai pemasok bahan sediaan obat farmasi dianggap telah lalai melakukan pemeriksaan atas barang sediaan. Bahan Propilen Glikol yang dipasok ke beberapa pabrik farmasi diduga telah tercemar Etilena Glikol dan Dietilena Glikol sebesar 52 – 90 %. Seharusnya sebagai pemasok barang sediaan farmasi, sebelum mengirimkan ke pabrik farmasi melakukan pemeriksaan atas kualitas bahan obat farmasi tersebut. CV SC dapat diduga melanggar Pasal 98 Undang-undang Kesehatan, yang menyatakan, “(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Dan, (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Selain melanggar Pasal 98 Undang-undang kesehatan, CV SC juga melanggar ketentuan Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang Konsumen, tahun 1999, “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar”.
Sedang industri farmasi yang memproduksi sirup yang menyebabkan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dikenakan Pasal 196 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 sebagaimana diubah terakhir dalam Pasal 60 UU 11/2020 tentang Kesehatan, serta Pasal 8 dan Pasal ayat 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 196 Undang-undang Kesehatan menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.