Alasan Hakim Ragu Putri Candrawathi Diperkosa Brigadir J

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
ADVERTISEMENTS

“Dan memang saudara (Putri) tidak melakukan visum. Betul?”, tanya hakim Wahyu.

ADVERTISEMENTS

oleh Bambang Noroyono

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

Majelis hakim meragukan pengakuan terdakwa Putri Candrawathi terkait peristiwa pemerkosaan yang dituduhkan kepada Brigadir Nofriansah Yoshua Hutabarat (J). Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso mengatakan, cerita tentang kekerasan seksual di rumah Magelang, Jawa Tengah (Jateng) versi Putri dan terdakwa Ferdy Sambo  yang menjadi pemicu pembunuhan di Duren Tiga 46 itu, bertolak belakang dengan reputasi profesi, maupun standar kesehatan tinggi pasangan suami istri tersebut saban harinya.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Menurut hakim Wahyu, jika benar Brigadir J melakukan pemerkosaan, semestinya Putri melakukan tes visum. Mengingat Putri, menurut hakim Wahyu, punya latar belakang pendidikan yang mapan sebagai dokter gigi.

ADVERTISEMENTS

Pun istri Sambo itu, kata hakim Wahyu, selama di persidangan mengaku menerapkan standar kesehatan tinggi terhadap diri sendiri, pun semua anggota keluarga. Putri dikatakan hakim Wahyu, kerap menerapkan protokol kesehatan ketat di keluarga.

ADVERTISEMENTS

Karena itu, hakim Wahyu mencecar Putri tentang mengapa tak melakukan visum, jika peristiwa pemerkosaan tersebut benar-benar terjadi. “Ketika terjadi pemerkosaan, banyak kejadian itu, adalah yang paling ditakutkan pertama penyakit menular seksual (PMS). Saudara (Putri) kan seorang dokter, di keluarga saudara juga protokol kesehatannya sangat tinggi. Bahkan kalau ada yang datang ke rumah, harus tes PCR segalam macam. Tetapi itu berkebalikan dengan peristiwa di Magelang itu (pemerkosaan). Kenapa saudara tidak pergi ke dokter, paling tidak untuk memeriksakan diri?” tanya hakim Wahyu kepada Putri saat persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (11/1/2023).

ADVERTISEMENTS

Atas pertanyaan dan pernyataan hakim Wahyu itu, Putri sebagai terdakwa, sempat terdiam untuk merespons. Tetapi dengan suara pelan dan terdengar menangis, Putri menjelaskan, dirinya yang tak dapat melakukan apa pun setelah mengalami perbuatan asusila  dari Brigadir J itu. Termasuk kata dia, upaya untuk melakukan visum, pun tak ada dalam pikirkannya.

ADVETISEMENTS

“Yang mulia, setelah kejadian itu (pemerkosaan), saya itu hanya bisa diam, dan tidak bisa berkata apa-apa. Karena saya bingung,” jawab Putri.

Putri melanjutkan, pikirannya pada saat itu hanya menghendaki agar peristiwa pemerkosaan tersebut, tak terungkap ke orang banyak karena alasan aib dan malu.

“Saya malu dengan apa yang terjadi pada saya. Dan saya tidak tahu harus bagaimana yang sebenarnya,” sambung Putri.

Hakim Wahyu pun mempertegas pertanyaannya tentang visum yang seharusnya dilakukan oleh Putri jika benar dirinya mengalami pemerkosaan. “Dan memang saudara (Putri) tidak melakukan visum. Betul?” tanya hakim Wahyu.

Putri pun menegaskan jawabannya, bahwa dirinya memang tak pernah melakukan pemeriksaan medis pascaperistiwa pemerkosaan itu. “Saya tidak pernah visum,” kata Putri. 

“Bahkan pada sesudah peristiwa penembakan (pembunuhan Brigadir J) itu, saudara pernah visum, atau pergi ke dokter untuk pemeriksaan?,” tanya hakim Wahyu kembali.

Putri, pun tetap pada jawabannya yang tak pernah sekalipun melakukan visum untuk membuktikan adanya pemerkosaan tersebut. “Untuk visum saya nggak,” jawab Putri.

Dia menambahkan, hanya pernah mendapatkan pendampingan psikologis sebagai korban pemerkosaan Brigadir J. “Dan waktu itu, juga saya tidak berani untuk menceritakan semuanya kepada psikolog, karena bagi saya ini (pemerkosaan) adalah aib yang membuat saya malu,” sambung Putri.

 

 

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version