Membunuh untuk Jual Ginjal Korban Nggak Masuk di Akal, Ini Alasannya Menurut Dokter

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
ADVERTISEMENTS

Seorang anak di Makassar menjadi korban pembunuhan untuk diambil ginjalnya.

ADVERTISEMENTS

JAKARTA — Kasus pembunuhan anak untuk dijual ginjalnya yang dilakukan dua remaja di Makassar, Sulawesi Selatan menuai kecaman dari berbagai pihak, termasuk kalangan dokter. Ketua Tim Transplantasi Ginjal Siloam Hospitals Asri, Prof Dr dr Endang Susalit SpPD KGEH mengatakan menjual organ tubuh termasuk ginjal dengan membunuh orang lain tidak masuk di akal.

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

“Sangat jauh dari proses yang seharusnya bisa dijalani,” ujar Prof Endang dalam konferensi pers Launching Transplantasi Ginjal Siloam Hospitals Asri, Jakarta, Kamis (12/1/2023).

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Sementara itu, Ketua Asri Urology Center (AUC), Dr dr Nur Rasyid SpU (K) mengaku sedih mendengar berita mengenai berita penculikan dan pembunuhan demi menjual organ tubuh korban. Menurutnya, hal ini terjadi lantaran tingkat kemampuan membaca masyarakat sangat jelek. Mereka melihat internet mengenai donasi ginjal kemudian mencari organ dengan jalan pintas, yaitu membunuh orang.

ADVERTISEMENTS

“Untuk menyumbangkan ginjal agar bisa dipakai hanya bisa satu dipastikan cocok dulu. Tidak bisa langsung dipakai. Bisa saja ditolak, bisa membuat meninggal yang menerimanya,” jelas dr Nur.

ADVERTISEMENTS

Dr Nur juga mengatakan tidak ada rumah sakit yang menerima ginjal tidak jelas asalnya. Organ seperti itu tidak akan dipakai.

ADVERTISEMENTS

“Itu hanya ada di film,” ujarnya.

ADVETISEMENTS

Oleh karena itu, menurut dr Nur, masyarakat harus dididik. Sekalipun ginjal yang dijual cocok dengan pasien, maka proses pengambilan organ harus dikerjakan oleh ahlinya. Itu dilakukan di rumah sakit, tidak bisa di sembarang tempat.

Untuk mencegah agar tidak terjadi hal seperti itu, menurut dr Nur, pendidikan dan kemampuan membaca yang benar harus diperbaiki. Tata cara donor organ sudah diatur oleh Komite Tranplantasi Nasional (KTN).

Mereka yang berhak meregirstrasi atau mendaftar siapa saja yang bisa mendonor. Ketika ada yang mendaftar menjadi pendonor, maka harus dilakukan pemeriksaan. Salah satunya pemeriksaan golongan darah.

“Sayang KTN belum berfungsi 100 persen, baru membuat aturan. Tinggal bagaimana menjadi organisasi profesional. Maka sebagai ganti KTN beban di rumah sakit untuk membuat tim advokasi yang baik,” ujar dr Nur.

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version