Gelar Diskusi, ARD Dorong Pengungkapan Korupsi di Aceh

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi publik dengan tema “Siapa yang akan menyusul ke KPK (mendorong pengungkapan kasus korupsi di Aceh oleh KPK)”. Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Kyriad Muraya, Selasa (28/2/2023). FOTO/Dok. Istimewa

ADVERTISEMENTS

BANDA ACEH – Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi publik dengan tema “Siapa yang akan menyusul ke KPK (mendorong pengungkapan kasus korupsi di Aceh oleh KPK)”. Kegiatan tersebut berlangsung di Hotel Kyriad Muraya, Selasa (28/2/2023).

ADVERTISEMENTS

Adapun yang menjadi narasumber dalam kegiatan tersebut adalah, Alfian (Koordinator MaTA), Mawardi Ismail (Pakar Hukum USK), Gaussyah (Dekan Fakultas Hukum USK), dan Syakya Meirizal (Koordinator MPO Aceh).

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

Syakya Meirizal mengatakan, beberapa kalangan berasumsi penangkapan Ayah Merin terkait kasus korupsi dermaga BPKS Sabang bersifat politis karena dia telah DPO selama lima tahun.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

“Walaupun beberapa masyarakat sering melihat Ayah Merin di warung kopi di Banda Aceh selama menjadi DPO,” ujar Syakya.

ADVERTISEMENTS

Ia menyebutkan, indikasi tersebut membuat masyarakat bertanya apakah KPK tidak memiliki jangkauan jaringan hingga ke Aceh, sehingga selama lima tahun membiarkan Ayah Merin berkeliaran.

ADVERTISEMENTS

Ia menuturkan, masyarakat meragukan hal tersebut, sehingga menganggap wajar jika penangkapan ini bersifat politis, sebab walaupun DPO Ayah Merin tetap dapat berkeliaran.

ADVERTISEMENTS

Menurut dia, sebelumnya di KPK ada lima orang tersangka dengan status DPO, yang salah satunya adalah Harun Masiku, dan di Aceh adalah Ayah Merin. Sepertinya dengan penangkapan Ayah Merin ini KPK ingin menunjukkan bahwa mereka tidak berdiam diri terhadap para DPO.

ADVETISEMENTS

“Karena Harun Masiku sulit ditangkap, kemudian ditangkap Ayah Merin, untuk menunjukkan ke publik Indonesia keseriusan KPK, ini dugaan pertama,” ucapnya.

Koordinator MaTA, Alfian menjelaskan, pola penyelidikan dan penyidikan di KPK berbeda dengan di kepolisian dan kejaksaan. Di polisi dan jaksa jarang ada pengembangan kasus.

Dimana pada Polda dan Kejaksaan Tinggi, jarang kasus yang penyelesaiannya utuh, apalagi terkait dengan orang yang memiliki kekuasaan dan uang.

“Untuk KPK alurnya jelas, tapi untuk kondisi KPK yang seperti saat ini, harus ada pengawalan dari masyarakat. Sebab saat ini KPK adalah rumpun eksekutif, tidak seperti sebelumnya,” jelasnya.

Sementara di level eksekutif, Luhut Binsar Panjaitan sudah dua kali melayangkan protes atas aksi tangkap tangan KPK. Saat ini diharapkan agar jangan sampai kasus di Aceh dianggap penyanderaan politik.

Oleh karena itu, lanjut Alfian, kasus Izil Azhar harus didorong cepat penyelesaiannya, agar tidak ada kesan kasus ini tersandera.

“Dalam kasus ini, semua orang tahu kasus ini tidak berdiri sendiri hanya pada Izil Azhar. Sebab dalam kasus tipikor, tidak berdiri pada satu orang atau dua orang, apalagi di kasus ini anggaran yang dikorupsi Rp 32 miliar,” katanya.

Disisi lain, pakar hukum dari Universitas Syaih Kuala (USK) Mawardi Ismail menyebutkan, korupsi merupakan suatu hal yang berbahaya bagi negara.

Sebuah negara yang korupsinya merajalela akan collapse, dan Sebuah negara yang kasus kasus korupsinya merajalela tidak akan pernah sejahtera.

Mawardi mengatakan, pemberantasan korupsi harus dilihat dari konteks kesejahteraaan, dalam masyakrat yang sejahtera akan muncul sebuah kondisi damai. J

“Jika dilakukan pemberantasan pada tindakan korupsi maka akan dapat mewujudkan kesejahteraan dan dapat mempertahakan perdamaian Aceh,” ujar Mawardi.

Ia melihat, saat ini memang ada perubahan dalam pemberantasan korupsi. Dimana perubahannya itu terjadi yakni ada pelemahan dalam hal upaya pemberantasan korupsi.

“Pemberantasan kasus korupsi harus dimulai dari hilir hingga ke hulu. Jangan sampai proses nya berhenti dari hilir sehingga hulunya tidak terjamah. Padahal pangkal korsupsi utamanya ada di hulu,” tuturnya.

Dekan Fakultas Hukum USK, Gaussyah, menyampaikan bahwa sering kali ketika penyidik KPK sudah ke Aceh, tapi tidak ada hasil yang memuaskan harusnya proses terang benderang hingga akhir agar kita bertanya-tanya status hukumnya.

“Ada anomali Otsus dan kemiskinan dimana 2008-2022 ada senilai Rp 96 triliun, sudah mengalir ke provinsi Aceh tapi rekor kita masih termiskin se Sumatra,” kata Gaussyah.

Ia melanjutkan, khusus untuk kasus Ayah Merin, apakah beliau pemain tunggal, apakah dengan kerugian negara sebesar itu bisa bermain sendiri? Ada Nindya Karya, Tuah Sejatai PT tersebut terindikasi terlibat dan sudah ditetapkan sebagai terasangka.

“Orang terlibat langsung harusnya juga ada bagian perencanaan, ada pengawasnya. Seharusnya dalam kasus ini juga ikut turut tanggung jawab,” katanya.

Dimana secara adminisratif tidak bisa hanya pidana, administrasi juga bisa diproses hukumnya. Harusnya seperti kasus beasiswa Aceh ditelusuri lagi pelanggaran administrtif.

“Untuk kasus BPKS apakah tersangkanya Ayah Merin saja, apakah tidak ada orang lain yang diuntungkan. Perusahaan- perusahaan diminta tanggung jawab,” jelasnya.

Sementara itu, mantan Wali Kota Sabang, Munawar Liza Zainal, menyebutkan bahwa dirinya merupakan orang pertama yang mewalan ketika itu. Dimana banyak pihak yang menyayangkan dan mengatakan istilah kuet pade lam reudok.

“Saya menjadi musuh bersama waktu itu. Waktu itu saya menentang ketika ada proses “PL” dalam hal pengadaan di BPKS,” ungkapnya.

Munawar menjelaskan, ketika melawan dirinya tidak sanggup, maka dirinya membentuk dewan pengawas (Dewas). Sehingga Dewas juga ditentang waktu itu dikatakan tidak ada surat dari presiden.

“Terpaksa kami surati presiden yang ototmatis dibalas jadi dewas. Waktu itu kami tidak digaji, tidak apa-apa, kami gaji sendiri, berkat bantuan pak Mawardi Ismail dibidang hukum kita jauh dari hal koruptif,” ujar Munawar.[]

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version