Yang Perlu Dilakukan Istri saat Suami Berbuat Kasar

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

 JAKARTA — Peristiwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) semakin marak terjadi. Apa yang harus dilakukan istri ketika mendapatkan suaminya orang yang kasar?

ADVERTISEMENTS

Dikutip dari buku 20 Konflik Rumah Tangga Dan Solusinya oleh Yulian Purnama, Jika seorang istri mendapati suaminya keras dan ringan tangan, hendaknya ia bersabar dan memaafkan suaminya, serta berusaha mencari ridha suaminya sehingga ia tidak marah. Di antara akhlak yang mulia adalah seseorang memaafkan orang yang berbuat zalim kepadanya. Allah ta’ala berfirman:

ADVERTISEMENTS

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكَاظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

ADVERTISEMENTS

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali-Imran ayat 134)

ADVERTISEMENTS

Allah ta’ala juga berfirman:

ADVERTISEMENTS

وَاَنْ تَعْفُوْٓا اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰ

ADVERTISEMENTS

“Dan jika kamu memaafkan itu lebih dekat kepada takwa” (QS Al-Baqarah ayat 237)

ADVERTISEMENTS

Maka, tidak ragu lagi memaafkan itu lebih utama secara umum. Dan membalas kezaliman dengan pemaafan itu merupakan bentuk membalas dengan kebaikan yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:

ADVERTISEMENTS

وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

ADVERTISEMENTS

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia” (QS. Fushilat ayat 34)

Dan istri berusaha mencari tahu penyebab mengapa suaminya kasar. Apakah ia sedang banyak permasalahan, sedang merasa susah, banyak tekanan atau yang lainnya. Dan berusaha membantu suaminya untuk mencari jalan keluar.

Namun, memaafkan itu tidak selamanya lebih baik dan utama. Jika sudah berbuat anarkis dan kekerasan sampai level melukai, membuat memar, atau membahayakan jiwa, maka lebih utama untuk dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Allah ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan melakukan perbaikan maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim” (QS. Asy-Syura ayat 40)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:

“Dalam ayat ini Allah menggandengkan pemaafan dengan ishlah (perbaikan). Maka pemaafan itu terkadang tidak memberikan perbaikan. Terkadang orang yang berbuat jahat pada anda adalah orang yang bejat, yang dikenal oleh masyarakat sebagai orang yang buruk dan rusak. Jika anda memaafkannya, maka ia akan semakin menjadi-jadi dalam melakukan keburukannya dan semakin rusak.

Maka yang lebih utama dalam kondisi ini, anda hukum orang ini atas perbuatan jahat yang ia lakukan. Karena dengan demikian akan terjadi ishlah (perbaikan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

“Ishlah (perbaikan) itu wajib, sedangkan memaafkan itu sunnah. Jika dengan memaafkan malah membuat tidak terjadi perbaikan, maka ini berarti kita mendahulukan yang sunnah daripada yang wajib. Yang seperti ini tidak ada dalam syari’at”. Sungguh benar apa yang beliau sebutkan, rahimahullah.

Maka terkadang, tidak memaafkan dan menjatuhkan hukuman itu lebih utama. Jika memang hukuman tersebut akan menjadi kebaikan bagi si pelaku, kebaikan bagi masyarakat atau kebaikan bagi agama.

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version