Menakar Kepentingan Lembaga Perbankan di Masa Mendatang

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ilustrasi Perbankan Syariah. FOTO/Net

ADVERTISEMENTS

BEBERAPA tokoh dan lembaga di Aceh berkomentar pasca Pemerintah Aceh mengajukan revisi qanun tersebut ke DPR Aceh, dan munculnya wacana membuka peluang untuk bank konvensional kembali beroperasi di Aceh. Salah satunya dari Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Aceh, A Malik Musa menilai bahwa qanun atau peraturan daerah Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) belum perlu dilakukan perubahan dan revisi, melainkan penguatan di internal perbankan saja. Malik menambahkan, jika pembahasan revisi qanun LKS itu untuk mendatangkan kembali bank konvensional ke Aceh. Langkah tersebut dinilai belum seharusnya mengingat usia peraturan yang masih cukup muda.

ADVERTISEMENTS

Permasalahan di Bank Syariah Indonesia (BSI) down beberapa waktu lalu, menurut Malik tidak ada hubungannya dengan penerapan qanun LKS di Aceh, sehingga ini harus dipisahkan, dan tidak berujung pada perubahan qanun. Perbankan syariah di Aceh hanya perlu memperkuat perangkat dan sistemnya terlebih dahulu (Antaranews.com, 24/5/2023).

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

Senada dengan Malik, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga menyatakan Qanun atau peraturan daerah yang mengatur lembaga keuangan syariah (LKS) belum perlu direvisi karena baru dua tahun diterapkan.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

“Qanun LKS ini baru dua tahun ditetapkan, lantas karena ada kesalahan di Bank Syariah Indonesia (BSI) timbul wacana merevisinya. Padahal, di Aceh masih ada perbankan syariah lainnya,” kata Ketua MPU Aceh Tgk H Faisal Al di Banda Aceh.

ADVERTISEMENTS

Faisal Ali mengatakan, gangguan transaksi perbankan di BSI hanyalah bagian terkecil dan tidak hanya di Aceh, tetapi juga terjadi secara nasional. Gangguan tidak tidak lantas, membuat Qanun LKS direvisi dengan mewacanakan kehadiran perbankan konvensional.

ADVERTISEMENTS

“Sebenarnya ini jadi kesempatan bagi masyarakat memperbesar Bank Aceh. Kejadian di BSI tersebut tidak lantas muncul wacana merevisi Qanun LKS serta menghadirkan kembali perbankan konvensional,” kata Faisal Ali.

ADVERTISEMENTS

“Kita semua sudah sepakat melaksanakan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh, termasuk melakukan transaksi perbankan dalam bingkai syariah Islam. Jadi, bukan mengundang kembali bank yang tidak sesuai dengan syariat Islam beroperasi di Aceh,” pungkas Faisal Ali (Antaranews.com, 16/5/2023).

ADVETISEMENTS

Bank Syariah dalam Pusaran Kapitalisme

Sebagaimana kita ketahui bersama, sistem bank syariah terbesar di Indonesia, BSI mengalami gangguan sejak Senin, 8 Mei 2023. Meski pihak bank sudah mengumumkan bahwa sistem layanan sudah kembali normal tetap saja peristiwa ini menimbulkan banyak kerugian, baik materi maupun non materi. Banyak dari nasabah yang merasa kehilangan tabungannya, belum lagi data nasabah yang pasti telah bocor dan menjadi komoditas beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab. Yang utama, rasa aman para nasabah telah terenggut.

Belakangan, kelompok hacker ransomware, LockBit mengaku bertanggung jawab atas gangguan semua layanan di BSI. “Mereka juga mengumumkan telah mencuri 15 juta catatan pelanggan, informasi karyawan, dan sekitar 1,5 terabyte data internal,” tulis akun Twitter Fusion Intellegence Center DarkTracer pada Sabtu, 13 Mei 2023.

LockBit juga mengancam akan merilis semua data di web gelap jika negosiasi dengan pihak BSI gagal. Melalui websitenya, LockBit mengaku menyerang BSI pada 8 Mei 2023. Serangan tersebut membuat bank syariah terbesar di Indonesia itu menghentikan semua layanannya.

Komisaris Independen BSI Komaruddin Hidayat mengatakan memang ada sabotase terhadap BSI. Kendati demikian, menurutnya, manajemen sudah menurunkan tim ahli untuk menyelesaikan masalah ini. Tim ahli yang diturunkan, kata Komaruddin Hidayat, paling banyak berasal dari Bank Mandiri mengingat bank tersebut merupakan pemegang saham terbesar. Tim ahli juga akan memperkuat sistem layanan BSI agar data nasabah, karyawan, dan mitra tidak terkena serangan peretas (tempo.co, 13/5/2023).

Peristiwa ini menunjukkan betapa lemahnya negara menjaga privasi rakyatnya. Baik bank konvensional maupun syariat sama-sama belum bisa 100 persen menjamin dana masyarakat aman. Padahal, berbondong-bondongnya masyakarat beralih kepada bank syariat karena banyak kekecewaan terhadap pelayanan bank konvensional sekaligus kesadaran akan berkahnya harta jika meninggalkan riba yang selama ini dipraktikkan di bank konvensional.

Terlebih terlihat dukungan pemerintah sebagaimana pidato Wakil Presiden Indonesia, Ma’ruf Amin dalam sambutannya dalam acara Seremonial Peresmian Center of Sharia Finance and Digital Economy (Shafiec) & Forum Nasional Keuangan Syariah. Beliau mengatakan dengan seremonial peresmian Shafiec & Forum Nasional Keuangan Syariah ini diharapkan bisa memainkan peran penting dalam pengembangan ekonomi syariah dan digital (Detik.com, 14/3/2021). Menteri keuangan, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa bank syariah telah mampu bertahan mendukung perekonomian pasca pandemi.

Faktanya, Perbankan syariah di bawah naungan BI, dimana posisi BI adalah induk sistem perbankan di Indonesia sehingga rujukan sistemnya adalah kapitalis, meskipun berbagai transaksi maupun istilah terkesan islami. Untuk persoalan penyelesaian data saja, BSI menurunkan tenaga ahli terbanyaknya dari Bank Mandiri, hanya karena saham terbesar dimiliki oleh salah satu bank konvensional. Permodalan dalam bentuk saham ini makin menguatkan betapa kuasanya kapitalisme, dan bank syariat berputar dalam pusarannya. Bisakah bank syariat berfungsi sebagaimana mestinya yaitu menjadi representasi penerapan Islam Kaffah?

Dilansir dari detiksultra.com (24/12/2018), Pakar ekonomi Islam, Dwi Condro Triono menilai, bank-bank yang saat ini mengklim dirinya sebagai perbankan berbasis syariah, sebenarnya tidak islami. Artinya, perbankan tersebut transaksinya masih banyak yang tidak sesuai syariah.

Misalnya saja, Ia menambahkan, dalam transaksi pinjam meminjam yang dijalankan oleh bank syariah, masih ada unsur keharamannya. Di antaranya dalam sistem bagi hasil (mudharabah), tidak dilakukan secara adil karena yang dibagi hanya keuntungannya saja, sedangkan saat peminjam mengalami kerugian, ruginya ditanggung sendiri oleh peminjam.

“Bank itu sulit disyariahkan, karena bank adalah lembaga bisnis bukan lembaga sosial. Sehingga bank akan terus mencari keuntungan dan menghindari kerugian. Makanya itu, yang dibagi hasil hanya keuntungannya saja,” katanya pada Seminar Nasional Ekonomi di UHO.

Ditambah lagi, lanjutnya, di bank syariah juga terjadi multi akad (perjanjian atau kesepakatan) atau dua akad dalam satu transaksi. Jelas hal itu menyalahi syariat. Dimana, bank sebagai pengelolah melakukan akad dengan nasabahnya yang sebagai pemodal, namun disaat yang sama, bank ini juga bertindak sebagai pemodal dengan meminjamkan uang kepada nasabah lainnya untuk mengelola uang tersebut.

Fungsi Perbankan dalam Sistem Kapitalisme

Masih menurut Dwi Condro Triono, dalam dunia ekonomi, posisi lembaga perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi antara dua kelompok masyarakat, yaitu kelompok masyarakat yang kelebihan uang dan yang kekurangan uang. Kelompok masyarakat yang kelebihan uang, biasa disebut dengan Rumah Tangga dan yang kekurangan uang adalah Para Pengusaha. Seluruh kelebihan uang yang ada di Rumah Tangga akan disedot ke lembaga perbankan, dengan kompensasi bunga simpanan. Selanjutnya uang yang sudah masuk di lembaga perbankan akan disalurkan ke para pengusaha, dengan kompensasi harus memberi bunga pinjaman kepada bank.

Posisi lembaga perbankan yang begitu sentral itulah yang membuat lembaga ini layak disebut sebagai jantungnya ekonomi. Oleh sebab itulah, keberadaan aktivitas ekonomi dan bisnis tidak dapat dilepaskan dengan lembaga perbankan ini. Ibaratnya, jika tidak ada bank, maka matilah bisnis kita. Sebagaimana manusia, jika jantungnya rusak, apalagi hilang, maka matilah manusia itu.

Dengan adanya fakta seperti di atas, maka upaya yang dilakukan oleh umat Islam, terutama dari kalangan pakar ekonominya ada dua, yaitu: pertama, membuat lembaga perbankan tandingan, yaitu Perbankan Syari’ah. Kedua, mengeluarkan pendapat tentang “halal”-nya bunga bank. Dari sini bisa disimpulkan, dukungan pemerintah terhadap keberadaan bank syariah tak berbeda sebagaimana dukungannya kepada bank konvensional, sebagai sumber keuangan (permodalan) semata yang akan menumbuhkan investasi-investasi di negeri ini dengan pelaku pengusaha multinasional bahkan multilateral.

Padahal, sistem perekonomian dengan basis kapitalisme yang diislamisasi ini malah menambah beban perekonomian yang sudah berjalan. Karena tidak akan bisa 100 persen menggerakkan perekonomian bangsa, mengingat tidak setiap orang memiliki uang untuk disimpan sebagai modal, dan tidak setiap orang bisa pinjam uang untuk modal karena keterbatasan akses misalnya. Di sisi lain, kekuasaan kapitalisme kian menghujam sementara Islam hanya berakhir dalam istilah perbankan syariah.

Menakar Kepentingan Lembaga Perbankan di Masa Mendatang

Kemudian jika kita kaitkan dengan kepentingan lembaga perbankan di masa mendatang, tentu kita akan bicara sebuah regulasi yang lebih baik dalam tatanan negara. Dimana regulasi adalah produk negara dalam rangka mengatur urusan rakyatnya agar berjalan lancar dan tidak ada hambatan. Dalam hal ini perekonomian. Maka, jelas kapitalisme yang menjadi pondasi lahirnya regulasi. Pemerintah kita lebih banyak hanya menggelar karpet merah bagi pengusaha sekaligus regulator kebijakan yang memudahkan para pengusaha itu bermain di negeri ini di berbagai sektor.

Perbankan dalam dunia kapitalisme memang ditanamkan kafir guna menyedot dana dari masyarakat, karena ketamakan mereka dalam mengeksploitasi kekayaan alam dan sumber-sumber ekonomi lainnya. Ada dua aktifitas utamanya pertama aktifitas Ribawi dan kedua aktifitas jasa perbankan seperti transfer uang dan penukaran mata uang, dimana bank akan mendapatkan jasa. Kehadiran bank syariah adalah untuk menghapus aktifitas bank konvensional pertama dan menggantinya dengan perdagangan (tijarah) dengan bentuk Mudharabah, murabahah dan masyarakat dalam bidang pertanian, industri, perdagangan dan sebagainya. Sedangkan aktifitas kedua, bank syariah pun melakukannya karena mubah.

Hanya saja, dalam praktiknya, banyak terjadi syubhat dalam aktifitas pertama, Rasulullah dengan tegas melarang adanya keraguan dalam sebuah aktifitas, “Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih) [HR. Tirmidzi, no. 2518; An-Nasa’i, no. 5714. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dengan kata lain, dalam pandangan Islam yang kemudian melahirkan sistem ekonomi Islam, kegiatan perbankan ini tidak ada sekalipun berlabel syariat.

Bukan berarti kegiatan muamalah tidak diperbolehkan , tetap boleh hanya tidak lagi diperlukan bank. Negaralah yang akan mendorong syirkah yang sesuai syariat, sedangkan bagi yang tidak memiliki modal boleh datang kepada Baitul Mal untuk meminta. Yaitu dari pos Milkiyah ammah dan Milkiyah Daulah. Menurut Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Muqadimah ad Dustur, juz II halaman 157 menjelaskan jasa perbankan yang meliputi transfer, penukaran mata uang, pencetakan Dinar dan dirham dan lainnya akan dilaksanakan oleh bank negara yang menjadi cabang Baitul mal.

Islam Mewujudkan ketahanan Ekonomi Tanpa Riba dan Syubhat

Allah SWT berfirman, “Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (Tafsir QS Al-Maidah: 50). Ayat ini bermakna, sebagai orang yang memeluk agama Islam, tidak boleh menjadikan agamanya hanya sekadar hiasan semata, melainkan sebagai way of life, pedoman dalam kehidupannya sehari-hari.

Kaum Muslim berkewajiban menerapkan syariat Kaffah namun bukan dalam bingkai sekulerisme, demokrasi atau lainnya. Akibatnya, Islam seoalah terkerat-kerat, seolah cukup Aceh Darusallam saja yang memiliki qonunnya, termasuk perbankannya. Tetapi menjadikan kalimat Allah SWT tegak dibumi mana saja yang dipijak manusia, sebab pada hakikatnya dunia dan seluruh alam semesta ini adalah milikNya, lantas mengapa kita bermaksiat dengan bersandar pada selain hukumNya?

Tak ada kemuliaan selain hidup dalam tata aturan syariat, dan tak ada solusi mewujudkan kesejahteraan hakiki tanpa syubhat selain dengan Islam. Wallahu a’lam bish showab.[]

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version