Selasa, 30/04/2024 - 18:36 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ISLAM

Penjelasan Hukum Merokok Menurut Ulama Asal Kediri yang Pernah Jadi Mufti di Makkah

ADVERTISEMENTS

 JAKARTA—Dalam mukadimah Irsyadul Ikhwan fi Bayani Ahkami Syurbil Qohwah wad Dukhon, Syekh Al-‘Allaamah Ihsan bin Muhammad Dahlan Al Jampesi, yang merupakan guru dari KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, menjelaskan kitab ini sejatinya adalah ringkasan sekaligus penyempurnaan dari kitab yang pernah dia tulis sebelumnya, yakni Tadzkirat al-Ikhwan fi Bayan al-Qahwah wa ad-Dukhan.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

Mengawali pembahasan, tokoh kelahiran Termas, Pacitan, Jawa Timur, ini membeberkan pendapat para ulama dari sejumlah mazhab menyikapi hukum tembakau. 

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Di antaranya pandangan hukum dari mufti Mazhab Syafi’i di Tanah Hijaz pada abad ke-12 H, yaitu Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi. 

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Menurut al-Kurdi, tak ada satu hadits pun menyoal hukum tembakau, begitu juga pendapat para salaf, riwayat apa pun yang dinukilkan dari generasi salaf terkait tembakau bisa dipastikan hoax (bohong) karena kemunculan komoditas ini ribuan tahun setelah masa mereka. 

ADVERTISEMENTS

 

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Dari sinilah, muncul perbedaan pendapat, terutama di kalangan ulama mazhab empat yang hidup pada masa belakangan. Sebagian memutuskan abstain enggan memberikan respons terkait halal tidaknya mengonsumsi tembakau. 

Berita Lainnya:
Titik Balik Pezina yang Temui Ajalnya Setelah Bertobat kepada Allah SWT

Namun, dalam pandangan al-Kurdi, penggunaan tembakau ini bisa menjadi haram bila membahayakan pemakainya, baik terhadap perkembangan akal atau fisiknya. 

Mungkin pula, hukum konsumsi tembakau bisa beralih boleh, bahkan disunatkan jika dimaksudkan untuk tujuan medis.

Minimal hukumnya makruh, jika tidak ada faktor pemicu hukum seperti di atas. Pendapat yang kurang lebih sama juga disampaikan Kiai Dahlan mengutip pendapat Syekh Muhammad Sa’id Babashil, pemuka ulama Mazhab Syafi’i di Makkah.

Dalam koridor ilmiah, Kiai Dahlan yang merupakan adik dari Syekh Mahfuzh at-Tarmasy, tokoh ulama nusantara yang tersohor itu, tak luput mengungkapkan pendapat mereka yang terang-terangan mengharamkan konsumsi tembakau.

Sebagian besar mereka menariknya adalah kalangan sufi. Mengutip penuturan al-Qalyubi, tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-10 H, konsumsi tembakau memicu sederet gangguan fisik, seperti sesak napas dan kebutaan.

Lebih menariknya lagi, Kiai Dahlan mendiskusikan pendapat pengharaman itu dengan nukilan fatwa yang justru sangat kontras. Bahwa pendapat haramnya rokok pada dasarnya adalah lemah karena, seperti disebutkan Syekh ar-Rasyidy, ulama bermazhab Syafi’i kelahiran Maroko yang hidup pada abad ke-10 H, tidak ada dalil satu pun yang jelas mengharamkan rokok.

Berita Lainnya:
Empat Hal yang Bikin Anda Kembali Bangun Sahur untuk Puasa Syawal

Dengan demikian, merokok pada dasarnya diperbolehkan. Ini sejalan dengan pandangan Syekh Zaini Dahlan, ahli fikih di Makkah pada abad ke-13 H, dan Syekh ad-Damanhuri, pakar fikih dari al-Azhar Mesir pada abad ke-11 H. Minimal, kata Syekh as-Syarqawi dalam catatannya dalam kitab at-Tahrir, merokok hukumnya makruh. 

Pendapat bolehnya merokok ini, tulis Kiai Dahlan, tak hanya diungkapkan para ahli fikih bermazhab Syafi’i. Ulama Mazhab Maliki periode akhir (mereka, antara lain, Syekh al-Ajhuri, ad-Dasuqi, as-Shawi, dan al-Amir al-Maliki), menyatakan hukum konsumsi rokok dan tembakau bisa sangat kondisional dan situasional tergantung penggunanya sehingga bisa berlaku lima varian hukum.

Maknanya, jika rokok bisa memicu ibadah seseorang bisa sunat hukumnya, dan jika berbahaya malah haram, dan bila memang berbahaya tanpa merokok tentu wajib. 

Sedangkan, jika rokok malah melalaikan ibadah, hukumnya makruh dan seandainya faktor-faktor tersebut nihil, merokok hukumnya boleh.

 

sumber : Harian Republika

Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi