PERSOALAN status dan pengelolaan Lapangan Blang Padang di jantung Kota Banda Aceh — yang sejak lama diperdebatkan antara klaim wakaf (Masjid Raya Baiturrahman) dan penguasaan oleh Kodam Iskandar Muda/TNI AD — memasuki babak administratif dan politis yang lebih konkret sepanjang 2025. Dalam ulasan ini kami merangkum fakta-fakta terkini, posisi para pihak, dasar hukum, dan jalur prosedural yang diperlukan untuk pengalihan pengelolaan ke pengurus (nazir) Masjid Raya Baiturrahman berdasarkan laporan media nasional dan lokal.
Intisari Perkembangan Terakhir
Pemerintah Aceh — melalui surat Gubernur Muzakir Manaf tertanggal 17 Juni 2025 — meminta Presiden RI memfasilitasi penyelesaian status tanah Blang Padang agar kembali berstatus tanah wakaf dan dikelola oleh Nazhir Masjid Raya Baiturrahman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada akhir Agustus 2025 mengeluarkan rekomendasi yang mendukung pengembalian Blang Padang kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman setelah pengkajian aspek syariah dan hukum.
Kanwil ATR/BPN Aceh dilaporkan menghentikan sementara proses atau pengajuan Hak Pakai yang diajukan Kodam Iskandar Muda setelah adanya keberatan dari Pemprov Aceh dan pihak-pihak terkait, sehingga proses administrasi pendaftaran tanah tidak dilanjutkan sementara untuk ditindaklanjuti. Itu menjadikan langkah administratif sebagai titik krusial berikutnya.
TNI AD menyatakan tidak mempermasalahkan bila lahan dikembalikan, asal pengembalian dilakukan sesuai prosedur hukum dan administrasi yang berlaku. Pernyataan ini membuka kemungkinan penyelesaian berbasis mekanisme formal, bukan konflik langsung.
Kronologi Singkat (garis besar)
Sejarah & Klaim Wakaf — Penelusuran sejarah (arsip Belanda, buku Van Langen dan peta lama) dipakai Pemprov Aceh untuk memperkuat klaim bahwa Blang Padang adalah bagian tanah wakaf yang diwakafkan Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya Baiturrahman. Dokumen-dokumen ini sering dikutip media lokal/nasional sebagai bukti historis.
Penguasaan oleh TNI — Setelah peristiwa besar (termasuk pasca-tsunami 2004 dan pengaturan aset negara), sebagian pengelolaan/penandaan lapangan tercatat di administrasi negara/instansi militer (ada catatan inventarisasi aset yang menjadi dasar klaim TNI pada masa lalu). Namun banyak pihak menyatakan belum ada sertifikat tanah atas nama siapapun yang final.
Keterlibatan Pemerintah Aceh dan Presiden — Gubernur Muzakir Manaf mengirim surat resmi kepada Presiden (17 Juni 2025) meminta intervensi dan penetapan status tanah tersebut sebagai wakaf Masjid Raya.
Respons Lembaga Terkait — TNI menyatakan akan mengikuti prosedur; ATR/BPN (pusat/kanwil) mengonfirmasi status bidang tanah belum bersertifikat dan menjanjikan penelusuran; MUI dan BWI (organisasi wakaf) turun tangan memberi kajian/rekomendasi. Selanjutnya, Kanwil BPN Aceh menghentikan sementara proses pengajuan hak (hak pakai) atas tanah sampai ada penegasan.
Posisi Para Pihak (ringkas & sumber)
Pemerintah Aceh (Gubernur Muzakir Manaf): Menuntut pengembalian Blang Padang ke fungsi wakaf/masjid berdasarkan dokumen sejarah dan kepentingan kemaslahatan umat; meminta penanganan oleh Pemerintah Pusat.
TNI AD/Kodam Iskandar Muda: Mengklaim penggunaan/penempatan di masa lalu dan tercatat di inventaris, namun menyatakan tidak keberatan bila dikembalikan asalkan melalui prosedur hukum yang benar.
Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN): Menteri/kanwil menyatakan belum ada sertifikat atas nama pihak manapun; kanwil Aceh menghentikan sementara proses pengajuan hak pakai karena adanya keberatan/koordinasi.
MUI & BWI: MUI Pusat memberi rekomendasi pengembalian (Agustus 2025); tokoh dan ketua BWI Aceh menyatakan tanah itu bersifat wakaf dan menyerukan penyelesaian tanpa memicu konflik.
Masyarakat Lokal/DPR Aceh/Ormas: Menuntut pengembalian dan pensertifikatan untuk kepastian hukum pemanfaatan ruang publik bersejarah; aspirasi ini sering muncul dalam rapat DPR Aceh dan publik lokal.
Dasar Hukum Penting yang Menjadi Rujukan
UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf — Pasal 40 menyatakan harta wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, disita, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya; Pasal 41 mengatur pengecualian (mis. untuk kepentingan umum sesuai RUTR) yang hanya dapat dilakukan setelah izin tertulis Menteri dan persetujuan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Ini menjadi landasan hukum utama bagi klaim bahwa tanah wakaf tidak bisa begitu saja dialihkan.
Aturan pertanahan dan hak pakai — Jika sebuah instansi negara (termasuk TNI) mengajukan hak pakai atas tanah negara, prosesnya dikelola BPN dan dapat terhalang bila ada keberatan hukum atau bukti hak lain (mis. wakaf yang terdaftar secara sah). Pernyataan Kanwil BPN Aceh tentang penghentian proses mengindikasikan aspek administratif ini menjadi penentu berikutnya.
Jalan Prosedural yang harus Ditempuh (bersifat teknis & administratif)
Berdasarkan pernyataan pejabat dan ketentuan hukum yang ada, langkah yang realistis dan legal untuk mewujudkan pengalihan pengelolaan ke Nazir Masjid Raya antara lain:
Verifikasi Historis dan Yuridis — Penelusuran arsip (Belanda dan dokumen lokal), verifikasi ikrar wakaf atau bukti wakaf historis oleh BWI/MUI agar status wakaf dapat dipertegas secara hukum.
Penegasan Administrasi Pertanahan — Kanwil BPN Aceh akan menelusuri data pendaftaran; bila terbukti wakaf, perlu ada proses pencatatan formal (pendaftaran wakaf/penegasan tidak bersertifikat) dan penghentian pengajuan hak pakai oleh pihak lain. Saat ini BPN menempatkan penghentian sementara sebagai langkah penundaan proses pendaftaran.
Penyelesaian Status Aset Negara — Jika tanah tercatat dalam inventaris negara atau hak pakai milik TNI, diperlukan mekanisme pelepasan/penyerahan oleh instansi terkait (TNI/Kementerian Pertahanan dan/atau Kementerian/Lembaga terkait) disertai keputusan/tata kelola resmi. TNI menyatakan siap mengikuti prosedur formal—ini akan membutuhkan koordinasi pusat (Presiden/Kemensetneg/Kementerian Pertahanan) dan/atau keputusan presiden jika terkait inventaris negara.
Izin Perubahan Status (jika diperlukan) — Jika ada kebutuhan merubah status tanah wakaf untuk kepentingan umum (pengecualian Pasal 41 UU Wakaf), harus ada izin tertulis dari Menteri dan persetujuan BWI. Namun langkah ini lebih relevan jika ada rencana penggunaan yang berbeda; dalam kasus saat ini justru klaimnya adalah mengembalikan fungsi wakaf.
Hambatan Utama dan Risiko Sengketa
Bukti sertifikat yang belum jelas — Banyak laporan menyebutkan Blang Padang belum bersertifikat atas nama pihak manapun secara final, sehingga data administrasi menjadi rumit. Ini memperpanjang proses verifikasi oleh BPN.
Klaim administratif lama (inventaris negara/TNI) — Catatan inventaris negara yang dikaitkan dengan keputusan pada masa lampau dipakai TNI sebagai dasar penggunaan; mekanisme pelepasan aset negara sering berbelit dan memerlukan keputusan pusat.
Potensi politisasi — Karena nilai sejarah, religius, dan fungsi publik (Blang Padang adalah ruang terbuka hijau dan pusat kegiatan), isu ini mudah menjadi sentimen politik lokal/nasional — yang menuntut kehati-hatian agar tidak memicu konflik sosial. MUI dan pihak adat/wakaf menganjurkan penyelesaian secara damai dan prosedural.
Prospek Penyelesaian dalam Jangka Menengah
Berdasarkan fakta terbaru (surat Gubernur ke Presiden, rekomendasi MUI, penghentian sementara proses BPN, dan pernyataan TNI yang membuka ruang prosedural), prospek kembalinya pengelolaan ke pengurus Masjid Raya Baiturrahman menjadi lebih besar dibanding kondisi sebelumnya — namun tetap bergantung pada kecepatan dan hasil verifikasi administrasi BPN, keputusan formal dari instansi pusat terkait aset negara, serta langkah formalisasi status wakaf oleh BWI/MUI. Dengan kata lain: arah politik dan dukungan kelembagaan sudah menguntungkan proses pengembalian, tetapi hambatan administratif dan teknis belum tuntas.
Rekomendasi bagi Pemangku Kepentingan (ringkas)
Transparansi dokumen — Publikasikan hasil penelusuran arsip dan inventaris supaya publik dapat mengawasi proses hukum-administratif.
Koordinasi terpusat — Pemerintah Aceh, BPN, Kementerian/Lembaga pusat (termasuk Kemenhan bila diperlukan), BWI, dan MUI perlu format kerja sama resmi untuk mempercepat verifikasi dan legalisasi.
Pengamanan sosial — Hindari tindakan sepihak di lapangan yang memicu sengketa; gunakan forum mediasi resmi untuk mengelola aspirasi masyarakat.
Kasus Blang Padang mempertemukan aspek historis, hukum wakaf, administrasi pertanahan, dan kepentingan publik kota. Perkembangan sepanjang 2025 menunjukkan pergeseran dari sengketa “klaim” ke tahapan verifikasi dan prosedur hukum — yaitu prasyarat mutlak untuk pengalihan pengelolaan yang sah.
Untuk pembaca yang membutuhkan salinan surat resmi, dokumen arsip Belanda yang disebut, atau kutipan lengkap pernyataan pejabat, saya dapat merangkum atau menyusun daftar dokumen dan tautan rujukan yang telah dikutip media — sebutkan saja dokumen mana yang ingin Anda lihat ringkasannya.
Kronologi Dokumen & Bukti Arsip: Blang Padang → Wakaf → Permohonan Pengembalian
| Tahun/Periode | Dokumen/Bukti | Isi Pokok/Klaim | Catatan khusus/Referensi media |
|---|---|---|---|
| Abad ke-17 (Masa Kesultanan Aceh, pemerintahan Sultan Iskandar Muda) | Ikrar / praktik wakaf lisan / tradisi pewakafan lokal | Lahan sawah di kawasan Blang Padang diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman sebagai “Oemong Sara” atau tanah wakaf untuk memelihara masjid, menghidupi imam, khatib, dan bilal | Banyak narasi sejarah lokal menyebut praktik ini sebagai akar klaim wakaf. Dalam surat Gubernur disebut bahwa “tanah wakaf (Umeung/Wakaf), dikenal pula sebagai Oemong Sara (Oemong sara’).” |
| Abad ke-19 (Kolonial Belanda, tahun 1888) | Buku “De Inrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat” karya K.F.H. Van Langen | Menyebut bahwa tanah Blang Padang (bersama Blang Punge) termasuk bagian dari ‘oemong sara’ atau wakaf Masjid Raya Baiturrahman di wilayah Kesultanan Aceh. Buku ini digunakan sebagai bukti sejarah penegasan klaim wakaf. | Pemerintah Aceh menyertakan buku Van Langen sebagai salah satu lampiran dalam suratnya ke Presiden sebagai bukti sejarah. |
| Peta/Arsip Belanda/Inventaris kolonial | Peta Koetaradja tahun 1875, peta kolonial lainnya, peta 1915, peta Belad/Blad lama | Beberapa peta menunjukkan Blang Padang (dan area sekitarnya) sebagai lahan publik/ruang alun-alun atau aloen-aloen, bukan militer atau tanah milik Belanda secara eksklusif; dan dalam peta kolonial disebut bahwa kawasan Blang Padang tidak dicatat sebagai milik militer. | Dalam liputan MetroTV & media Aceh dikutip bahwa peta-peta Belanda mendukung klaim wakaf. |
| Abad modern/pasca kemerdekaan hingga Tsunami 2004 | Praktik pengelolaan lokal dan penguasaan fungsional | Setelah tsunami 2004 dan rekontruksi kota, TNI AD/Kodam Iskandar Muda menempatkan plang “Hak Pakai TNI AD” di Lapangan Blang Padang dan mengambil alih pengelolaan fungsional area tersebut | Pemasangan plang hak pakai ini memicu klaim tandingan bahwa pengelolaan telah berubah. |
| 17 Juni 2025 | Surat Gubernur Aceh Nomor 400.8/7180 (atau 400.87/180 dalam sumber lain) |
| Beberapa laporan menyebut nomor surat “400.8/7180” dan dalam liputan lain “400.87/180”. Dalam surat tersebut Gubernur menyebut bahwa penguasaan TNI AD atas Blang Padang telah berlangsung sekitar 20 tahun terakhir sejak pasca tsunami. |
| Agustus 2025 / pernyataan MUI & BWI | Rekomendasi/Pernyataan resmi | MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat menyarankan agar tanah dikembalikan ke pengurus masjid jika memang terbukti wakaf; BWI Aceh menyatakan bahwa Blang Padang adalah tanah wakaf dan menolak pengelolaan sepihak oleh TNI. | Dijadikan momentum dukungan moral dan kelembagaan untuk klaim pengembalian. |
| Juli 2025 | Protes/aksi masyarakat publik | Sejumlah massa melakukan aksi di depan kantor Gubernur Aceh menuntut pengembalian tanah wakaf Blang Padang ke Masjid Raya Baiturrahman, mengutip surat Gubernur 17 Juni sebagai dasar tuntutan. | Unjuk rasa ini menunjukkan tekanan publik terhadap Pemerintah Pusat dan instansi terkait. |
| 2025 (respon instansi TNI/Kementerian Keuangan/ATR/BPN) | Keputusan/catatan administratif |
| Pernyataan ini menjadi penyeimbang klaim sejarah — menunjukkan bahwa proses administratif formal menjadi titik krusial selanjutnya. |
Catatan & Klarifikasi
Terdapat perbedaan dalam penulisan nomor surat Gubernur Aceh: sebagian media menyebut 400.8/7180, sebagian lainnya 400.87/180.
Media menyebut bahwa TNI AD/Kodam IM tidak memiliki sertifikat atas tanah Blang Padang, dan demikian pula Masjid Raya Baiturrahman tidak memiliki sertifikat final atas lahan tersebut — memperkuat bahwa bukti tertulis historis (seperti Van Langen atau peta lama) menjadi “alas hak” dalam usaha sertifikasi ke depan.
Penelusuran arsip Belanda menjadi titik penting bagi klaim sejarah; namun media mengakui bahwa bukti sejarah tidak selalu menjadi bukti hukum utama dalam sistem pertanahan Indonesia — sertifikat adalah yang paling kuat di ranah administratif.
Aksi publik dan tekanan masyarakat (unjuk rasa) menjadi faktor non-dokumen yang memperkuat momentum politik penyelesaian.
Sumber:
- MetroTV/IDN Times (surat Gubernur),
- Detik & CNN Indonesia (respon MUI, TNI),
- Tempo (pernyataan Menteri ATR/BPN),
- Laporan Kanwil BPN Aceh (penghentian pengajuan hak pakai)
- Arsip Belanda (bukti sejarah Van Langen),
- Pernyataan BWI Aceh
- Media lokal AcehOnline
- Waspada
- Dialeksis


















































