UPDATE

LINGKUNGAN
LINGKUNGAN

Suhu Global Diproyeksi Naik 2,6°C, Dunia di Ambang Kehancuran Iklim

BANDA ACEH – Suhu global diperkirakan meningkat hingga 2,6 derajat Celsius pada akhir abad ini, menempatkan planet ini di ambang kehancuran iklim. Laporan terbaru menunjukkan negara-negara belum menunjukkan kemajuan berarti dalam mengurangi emisi bahan bakar fosil, yang kini justru mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Temuan itu berasal dari dua laporan utama: Climate Action Tracker (CAT) dan Global Carbon Project (GCP). Dalam pembaruan menjelang perundingan COP30 di Belém, Brasil, CAT menyebut rencana pengurangan emisi pemerintah dunia masih gagal mencegah pemanasan berbahaya selama empat tahun berturut-turut.

“Dengan proyeksi pemanasan 2,6°C, dunia akan memasuki era baru yang penuh bencana, ditandai oleh cuaca ekstrem, kekeringan, dan kesulitan sosial yang parah,” tulis laporan CAT.

Krisis Iklim Mengancam Sistem Bumi

CEO Climate Analytics, Bill Hare, memperingatkan bahwa kenaikan suhu tersebut bisa memicu serangkaian titik kritis iklim. “Pemanasan 2,6°C berarti bencana global,” ujarnya. “Ini bisa menyebabkan runtuhnya arus utama Samudra Atlantik, hilangnya terumbu karang, kerusakan lapisan es, dan konversi hutan hujan Amazon menjadi sabana.”

Hare menambahkan, dampaknya akan meluas: “Pertanian di Eropa bisa gagal total, musim hujan di Asia dan Afrika terhenti, serta suhu dan kelembapan ekstrem dapat mematikan manusia.”

Saat ini, Bumi telah menghangat sekitar 1,3°C sejak Revolusi Industri akibat pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi. Dampaknya sudah terlihat dalam bentuk badai yang semakin kuat, kebakaran hutan, dan kekeringan panjang di berbagai wilayah.

Berita Lainnya:
300 Warga Dievakuasi Usai Letusan Gunung Semeru, Status Naik Jadi Awas

AS Dituding Lemahkan Komitmen Paris

Meski Perjanjian Paris mewajibkan negara memperbarui target iklim mereka, hanya sekitar 100 negara yang telah melakukannya. Sebagian besar rencana itu dinilai tidak cukup ambisius untuk membatasi pemanasan di bawah 1,5°C.

Proyeksi pemanasan bahkan sedikit memburuk menjadi 2,2°C, yang sebagian besar disebabkan oleh penarikan diri Amerika Serikat dari Perjanjian Paris pada masa pemerintahan Donald Trump. Trump berulang kali menyebut perubahan iklim sebagai “tipuan” dan membatalkan sejumlah kebijakan iklim domestik. Untuk pertama kalinya, AS juga tidak mengirimkan delegasi ke konferensi iklim PBB (COP).

Namun, dibandingkan proyeksi awal 3,6°C pada 2015, kondisi global sedikit membaik berkat pertumbuhan energi terbarukan dan penurunan penggunaan batu bara, bahan bakar paling berpolusi.

Penyerap Karbon Alami Melemah

Laporan GCP memperingatkan bahwa penyerap karbon alami seperti hutan dan laut mulai kehilangan kemampuan menahan CO₂. Hutan tropis di Asia Tenggara dan Amerika Selatan kini berubah dari penyerap karbon menjadi penghasil emisi, akibat pemanasan global dan deforestasi.

Emisi bahan bakar fosil global diperkirakan naik 1% tahun ini, meski peningkatannya melambat dibandingkan dekade sebelumnya. Pertumbuhan energi terbarukan hampir mampu menutup kebutuhan energi dunia, tetapi belum sepenuhnya menggantikannya.

Tingkat karbon dioksida di atmosfer diperkirakan mencapai 425 ppm pada 2025, naik dari 280 ppm pada masa pra-industri. Para ilmuwan memperkirakan, angka ini bisa 8 ppm lebih rendah jika penyerap karbon alami tidak melemah.

Berita Lainnya:
Kabupaten Tapanuli Tengah Lumpuh Total!

“Pemanasan Global Ini Benar-Benar Gila”

Dalam forum COP30, kelompok G77 plus Tiongkok – yang mewakili 80 persen populasi dunia – menyerukan transisi adil dari bahan bakar fosil. Namun, negara-negara maju seperti Australia, Kanada, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Uni Eropa belum mendukung penuh langkah tersebut.

Mantan Wakil Presiden AS Al Gore mendesak para delegasi untuk bertindak cepat. “Pemanasan global yang sedang terjadi ini benar-benar gila,” ujarnya. “Berapa lama lagi kita akan berdiam diri sementara suhu terus naik dan membuat bencana semakin parah?”

Sementara itu, Prof. Corinne Le Quéré dari Universitas East Anglia menekankan bahwa meski laju penurunan emisi belum cukup cepat, ada kemajuan signifikan. “Kebijakan dan tindakan iklim bekerja. Pertumbuhan energi terbarukan telah memperlambat kenaikan emisi secara global,” katanya.

Le Quéré mencatat, kini 35 negara – termasuk Australia, Yordania, Korea Selatan, dan sejumlah negara Eropa – berhasil menurunkan emisi karbon meskipun ekonominya terus tumbuh.

Seruan Mendesak untuk Bertindak

Romain Ioualalen dari Oil Change International menegaskan perlunya langkah drastis di COP30. “Negara-negara harus menggandakan investasi energi terbarukan dan mulai merencanakan penghentian total produksi serta penggunaan bahan bakar fosil,” katanya.

Tanpa tindakan kolektif yang lebih tegas, dunia menghadapi masa depan dengan iklim yang tidak stabil dan risiko kemanusiaan yang meningkat tajam. []

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.