Dalam sebuah kesempatan baru-baru ini ketika penulis mengikuti ujian sertifikasi Nazhir yang diadakan oleh LSP Badan Wakaf Indonesia (BWI) bersama Kemenag RI di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat. Sambil menikmati makan siang, kebetulan para peserta dari seluruh Indonesia itu sedang Ishoma.
Di sela-sela menyantap hidangan siang khas hotel bintang 4, penulis menyempatkan diri duduk bergabung semeja dengan para ahli wakaf yang kelihatannya lebih senior dan mumpuni dari semua sisi. Kira-kira berjumlah lima orang, mereka saling berdiskusi sambil menikmati kelezatan makanan di atas mejae.
Salah satu topik menarik yang mereka bahas adalah bagaimana kedudukan wakaf dalam bentuk crypto currency? Apakah dibolehkan atau menurut regulasi dan aspek syariah memungkinkan untuk wakaf crypto currency dan teknologi Blockchain?
Diantara yang duduk melingkari meja makan tersebut ternyata salah satunya merupakan presiden Asosiasi Nazhir Indonesia (ANI) yang belakangan baru saya tahu. Wah ternyata bukan orang sembarangan.
Usai bubar di restoran hotel, lalu kami pun kembali ke ruangan acara di mana tempat pembekalan peserta sertifikasi Nazhir berlangsung. Masih di hotel yang sama untuk 2 hari.
Lantas, dalam dua hari ini sejak, Selasa -Rabuhi (25-26 November 2025), pemerintah Aceh pun menggelar Aceh Waqf Summit yang diikuti oleh seluruh pihak berkepentingan terkait Wakaf. Pesertanya bahkan datang dari seluruh penjuru Aceh, lebih-kurang 300 orang.
Acara yang baru pertama kali digelar terkait mudzakarah Wakaf itu memang dapat dikatakan spektakuler. Para pembicara yang diundang pun bahkan didatangkan dari negeri Jiran Malaysia. Mereka merupakan para pelaku dan pemikir wakaf yang dikenal sukses hingga dipentas global.
Yang menarik adalah salah seorang narasumber berbicara tentang digitalisasi wakaf sebagai strategi mengembangkan wakaf modern dan upaya menjadikan wakaf sebagai aset manajemen. Hebatnya, narasumber tersebut juga menyebutkan wakaf crypto currency dan Blockchain.
Dua momen penting itu menjadikan rasa penasaran penulis tersentuh. Meski perlahan, penulis mencoba untuk menemukan beberapa gambaran tentang wakaf crypto currency dan Blockchain. Tulisan sederhana ini mencoba menginformasikan hal itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia keuangan global diguncang oleh kemunculan cryptocurrency dan teknologi blockchain. Meski sempat dipandang sebelah mata, kini inovasi digital tersebut mulai dilirik sebagai instrumen pengembangan filantropi Islam, termasuk wakaf. Pertanyaannya, apakah penggunaan crypto dan blockchain dalam wakaf dibolehkan secara syariah? Dan bagaimana peluangnya di Indonesia?
Secara fikih, wakaf mensyaratkan bahwa objek yang diwakafkan harus memiliki nilai yang jelas, kepemilikannya sah, dan manfaatnya berkelanjutan. Di sejumlah negara, ulama dan otoritas keuangan syariah menilai cryptocurrency dapat dikategorikan sebagai aset digital yang bernilai (mal mutaqawwam). sehingga boleh dijadikan objek wakaf. Namun, volatilitas harga yang tinggi membuat sebagian ahli syariah menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengelolanya. Idealnya, aset crypto yang diterima sebagai wakaf segera dikonversi ke instrumen yang lebih stabil seperti rupiah atau emas untuk menghindari spekulasi dan risiko penurunan nilai.
Sementara itu, teknologi blockchain sendiri justru hadir membawa angin segar bagi tata kelola wakaf. Blockchain bukanlah harta, melainkan sistem pencatatan digital terdesentralisasi yang menjamin transparansi, keamanan, dan akuntabilitas. Dengan menggunakan smart contract, penyaluran manfaat wakaf dapat diatur secara otomatis sesuai akad yang telah disepakati. Seluruh transaksi juga dapat dilacak publik sehingga mengurangi potensi penyalahgunaan dana wakaf.
Potensi ini sejalan dengan kebutuhan pembaruan pengelolaan wakaf di Indonesia. Meski memiliki aset wakaf yang sangat besar, sebagian masih belum tergarap optimal akibat lemahnya pendataan dan minimnya transparansi. Pemanfaatan blockchain dapat menjadi solusi untuk mengelola, memantau, dan mendistribusikan manfaat wakaf secara lebih profesional dan berkelanjutan.
Namun, tantangan tetap ada. Dari sisi regulasi, cryptocurrency belum diakui sebagai alat pembayaran resmi di Indonesia, melainkan sebagai komoditas yang diawasi Bappebti. Di sisi syariah, sifat spekulatif crypto masih menimbulkan ketidakpastian (gharar) yang perlu dikendalikan. Selain itu, aspek keamanan digital dan risiko kehilangan akses terhadap aset crypto juga menjadi perhatian.
Oleh karena itu, kolaborasi antara Badan Wakaf Indonesia, regulator keuangan, industri teknologi, serta ulama ahli fikih muamalah diperlukan untuk merumuskan pedoman wakaf digital yang aman, syar’i, dan legal. Digitalisasi wakaf tidak boleh meninggalkan prinsip dasar: menjaga harta wakaf agar manfaatnya terus mengalir untuk umat.
Pada akhirnya, penggunaan crypto dan blockchain dalam wakaf bukanlah sekadar tren, melainkan bagian dari transformasi besar dalam ekonomi syariah global. Jika dikelola secara tepat, inovasi ini akan menghadirkan model wakaf yang lebih inklusif, transparan, dan berdampak luas, sekaligus menjadikan Indonesia pelopor dalam ekonomi wakaf digital. **
































































































