Ketegangan Venezuela–AS memanas akibat isu perebutan cadangan minyak. Artikel ini mengulas imperialisme energi, motif geopolitik, respons dunia, dan pandangan Islam.
KETEGANGAN geopolitik kembali memuncak ketika pemerintah Venezuela mengecam keras ancaman Amerika Serikat (AS) terkait cadangan minyaknya.
Bagi Caracas, tindakan Washington bukan sekadar tekanan diplomatik, melainkan bentuk imperialisme modern—upaya menguasai sumber daya strategis dunia dengan dalih keamanan dan stabilitas regional.
Situasi ini memperlihatkan betapa minyak, komoditas yang menopang jalannya peradaban modern, tetap menjadi pemicu konflik geopolitik yang tak pernah mereda sejak abad lalu.
Venezuela bukan negara sembarangan. Negeri itu memiliki salah satu cadangan minyak terbesar di dunia. Jumlahnya bahkan melewati Saudi Arabia dalam beberapa laporan internasional.
Dalam kondisi pasar global yang tidak stabil, cadangan sebesar itu adalah “mahkota” yang diincar banyak pihak.
Maka tidak mengherankan apabila Venezuela menilai langkah AS—mulai dari tekanan sanksi, operasi militer di Karibia, hingga pernyataan provokatif di forum internasional—sebagai ancaman terhadap kedaulatannya.
Ancaman AS: Kepentingan Energi atau Imperialisme?
Dari sudut pandang geopolitik, ancaman AS jelas memiliki dimensi yang lebih dalam daripada narasi “penegakan stabilitas”. Tidak sedikit analis yang menegaskan bahwa AS tidak ingin Venezuela menjadi pemain energi yang independen dan mampu bermitra dengan negara-negara yang tidak berada dalam lingkar pengaruh Barat.
Intervensi ini bukanlah fenomena baru. Sejak lama, AS menilai kawasan Amerika Latin sebagai “halaman belakang”-nya. Kebijakan luar negeri Washington terhadap Venezuela, Kuba, Nikaragua, dan Bolivia menunjukkan pola yang sama: negara yang tidak sejalan dengan kepentingan AS akan diberi sanksi, tekanan ekonomi, bahkan ancaman militer.
Dalam konteks Venezuela, minyak adalah inti persoalan. Negeri itu memiliki cadangan yang bisa mengubah peta energi dunia apabila dikelola secara mandiri atau bersama blok-blok regional seperti ALBA. Dengan kontrol atas cadangan sebesar itu, Venezuela dapat menentukan harga, menentukan mitra strategis, bahkan mempengaruhi geopolitik global. Dan hal itu sangat tidak disukai AS.
Karena itu, ketika Venezuela mengecam AS sebagai pihak yang ingin “merebut cadangan minyak lewat ancaman militer”, banyak pihak menilai kecaman itu bukanlah retorika kosong, tetapi refleksi dari kenyataan geopolitik yang telah berlangsung puluhan tahun.
Akankah Intervensi AS Menyulut Konflik Global?
Ancaman AS bukan hanya masalah bilateral. Ada dampak besar bagi pasar energi global. Pertama, intervensi terhadap produsen minyak utama akan mengguncang stabilitas pasar energi. Ketidakpastian politik biasanya memicu kenaikan harga minyak, yang kemudian memengaruhi ekonomi global—dari inflasi hingga biaya logistik internasional.
Kedua, dominasi AS atas cadangan minyak Venezuela berpotensi mengubah keseimbangan peta kekuatan energi dunia. Jika AS berhasil menguasai suplai besar dari Venezuela, ia dapat mengendalikan harga minyak global dengan lebih agresif. Hal ini tentu merugikan negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor energi.
Ketiga, langkah AS dapat memicu respons dari kekuatan global lain seperti Tiongkok, Rusia, dan negara-negara ALBA. Mereka tentu tidak akan membiarkan Washington memperluas hegemoninya di Amerika Latin tanpa perlawanan diplomatik atau ekonomi.
Dengan kata lain, intervensi AS tidak hanya membahayakan Venezuela, tetapi juga membuka kemungkinan eskalasi geopolitik yang lebih luas.
Motif Geopolitik AS: Mempertahankan Hegemoni Energi
Dari perspektif geostrategis, cadangan minyak Venezuela adalah aset yang sangat menggoda. Dengan menguasai Venezuela, AS dapat mengamankan suplai energi jangka panjang, menekan harga global sesuai kepentingan nasionalnya, mengurangi pengaruh OPEC dan negara-negara non-Barat, menghalangi mitra strategis Venezuela seperti Rusia dan Tiongkok, dan menjaga dolar tetap dominan dalam perdagangan minyak global.
Dengan kata lain, minyak Venezuela memiliki nilai strategis yang melampaui angka-angka ekonomi. Ia adalah kartu truf yang dapat mempertahankan hegemoni AS dalam sistem dunia. Tidak heran jika Venezuela menilai ancaman AS sebagai upaya perebutan paksa yang mengancam eksistensi negara.
Respon Global: Solidaritas atau Diam?
Respon dunia pun beragam. Negara-negara sekawasan Amerika Latin, terutama yang bergabung dalam blok ALBA, mengecam keras ancaman terhadap Caracas. Mereka melihat ancaman terhadap Venezuela sebagai ancaman terhadap seluruh Amerika Latin.
Di sisi lain, PBB dan organisasi internasional lainnya menunjukkan sikap yang cenderung berhati-hati—bahkan sebagian kalangan menilai PBB terlalu lembut menghadapi agresivitas AS. Ada kekhawatiran bahwa konfrontasi terbuka akan memperburuk instabilitas global, terutama dalam situasi ekonomi dan keamanan dunia yang sudah rapuh.
Namun satu hal jelas semakin banyak negara yang mulai melihat dominasi energi AS sebagai ancaman, bukan sebagai stabilisator global.
Perspektif Islam: Minyak adalah Milik Umat
Dalam Islam, persoalan minyak tidak hanya dilihat dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek moral, hukum, dan tanggung jawab negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “api” termasuk seluruh sumber energi—air, gas, batu bara, hingga minyak bumi. Artinya, sumber daya itu tidak boleh dimiliki oleh individu, korporasi asing, atau negara lain. Ia harus berada di bawah kepemilikan umum, dikelola negara, dan hasilnya kembali kepada rakyat.
Al-Qur’an pun menegaskan, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…” (QS. Al-Baqarah: 188)
Intervensi atau perebutan sumber daya negara lain jelas termasuk kategori “al-bathil”—perampasan yang merusak hak rakyat atas kekayaan mereka.
Sejarah Islam membuktikan hal ini. Di masa Khilafah, tambang-tambang besar di Bahrain, Mesir, Syam, dan wilayah Afrika Utara dikelola negara dan hasilnya dipergunakan untuk rakyat—melalui jaminan pendidikan, keamanan, layanan kesehatan, hingga pembangunan infrastruktur.
Dalam perspektif Islam, tindakan AS terhadap Venezuela bukan saja bermasalah secara geopolitik, tetapi juga melanggar prinsip keadilan syariah.
Kesimpulan: Minyak, Kedaulatan dan Perjuangan Global
Ketegangan Venezuela–AS bukan sekadar konflik dua negara. Ini adalah cermin dari perebutan sumber daya global yang semakin brutal. Minyak menjadi komoditas yang membuat negara adidaya berani mengancam, menekan, bahkan melakukan intervensi militer.
Venezuela menilai AS sebagai pihak yang ingin merebut cadangan minyak dunia. Analisis geopolitik membuktikan tudingan itu bukan isapan jempol. Dominasi energi AS selama ini memang bergantung pada kemampuan mereka menekan, menguasai, atau mengendalikan negara lain.
Dunia harus waspada. Intervensi semacam ini dapat menimbulkan konflik, mengguncang pasar energi, dan mengancam kedaulatan negara-negara kecil dan berkembang.
Islam memberi solusinya, minyak adalah milik umum, bukan komoditas yang boleh direbut lewat perang atau tekanan politik. Dalam sistem Islam, kekayaan alam dikelola untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk dikendalikan oleh kekuatan asing atau oligarki global.
Saat dunia terus bergulat dengan perebutan energi, pesan Islam menjadi semakin relevan keadilan tidak mungkin tegak selama kekayaan umat diperebutkan dengan kekuatan senjata dan politik agresif.
Wallahu’alam bish shawab.
































































































