BANDA ACEH – Pernyataan Menteri Koordinator PMK, Muhaimin Iskandar, yang menegaskan.Bahwa Indonesia menolak bantuan internasional dengan alasan “kita masih kuat kok”, langsung mencuri perhatian publik.
Ucapan itu disampaikan di tengah salah satu bencana terbesar yang menghantam Sumatra dalam dua dekade terakhir.
“Selagi kita masih kuat, ngapain (terima bantuan internasional)? Kita masih kuat kok,”ujar Cak Imin didepan awak media Kementerian Sosial di Jakarta 8/12/2025 dilansir suara.com.
Kontras antara nada optimistis pemerintah dan skala bencana di lapangan menjadi sorotan tajam.
Data resmi yang dirilis berbagai lembaga menunjukkan betapa berat kondisi yang sebenarnya dihadapi masyarakat Sumatra.
Reuters melaporkan bahwa sebanyak 950 orang tewas dan 274 lainnya masih hilang akibat rentetan banjir dan longsor.
Kerusakan meluas dari Aceh hingga Sumatera Barat, menyapu pemukiman, merusak jalan utama, dan memutus jaringan logistik vital.
Sementara itu, pemerintah pusat menegaskan bahwa kapasitas nasional masih memadai, baik dari sisi pendanaan maupun sumber daya bantuan.
Namun laporan dari daerah memperlihatkan kenyataan berbeda.
Sejumlah wilayah dilaporkan kehabisan bahan bakar, akses pangan terbatas, hingga minimnya suplai air bersih bagi pengungsi.
Beberapa kabupaten bahkan disebut hampir tak tersentuh bantuan karena jalur darat terputus total.
Pernyataan “kita masih kuat kok” akhirnya menjadi pemantik diskusi lebih luas kekuatan siapa yang dimaksud?
Apakah kapasitas administratif negara atau ketahanan masyarakat di lapangan yang sedang berjibaku menyelamatkan keluarga mereka?
Laporan Reuters menyebut beberapa lokasi terdampak “run low on fuel and food”, menggambarkan urgensi yang jauh dari kata aman.
Kondisi ini diperparah oleh besarnya kebutuhan pemulihan.
Pemerintah memperkirakan biaya rekonstruksi mencapai Rp 51,8 triliun.
Angka yang membuat publik bertanya-tanya bagaimana beban sebesar itu dapat ditanggung tanpa tambahan dukungan internasional.
Di sisi lain, sejumlah pejabat menjelaskan bahwa penolakan bantuan asing dilakukan demi menjaga.
Kemandirian nasional dan memastikan pengelolaan bantuan tetap terkoordinasi oleh negara.
Namun narasi itu sulit diterima sebagian masyarakat yang melihat langsung sulitnya distribusi bantuan di wilayah bencana.
Video warga yang berteriak meminta suplai makanan hingga antrean panjang pembagian air bersih memperkuat kekhawatiran banyak pihak
Apakah negara benar-benar kuat, atau justru sedang berjuang keras menutupi fakta lapangan?
Berbagai pengamat kebijakan menilai keputusan menutup pintu bantuan internasional bukan hanya soal logistik, tetapi juga menyangkut persepsi Politik.
Di tengah tekanan publik dan kerusakan yang masif, sikap pemerintah yang terlalu percaya diri dinilai berpotensi menunda penanganan yang lebih cepat dan efektif.
Meski demikian, pemerintah masih memiliki waktu untuk melakukan evaluasi.
Situasi bencana berkembang cepat, dan keputusan untuk membuka atau menutup akses bantuan asing bukanlah keputusan permanen.
Banyak pihak berharap pemerintah memprioritaskan keselamatan warga ketimbang mempertahankan citra kuat di hadapan dunia.***































































































