Jumat, 26/04/2024 - 08:30 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

NASIONAL
NASIONAL

LPSK: Kasus Penyiksaan Warga Sipil Fenomena Gunung Es

ADVERTISEMENTS

LPSK mennemukan pola penyiksaan kolaboratif antara sipil dan penyelenggara negara.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

JAKARTA — Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) membeberkan, aparatur negara menjadi aktor di balik banyak penyiksaan terhadap rakyat sipil. Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyebut, dalam catatannya, ada 13 kasus penyiksaan yang masuk ke LPSK pada 2020, 28 kasus pada 2021 dan 13 kasus pada Januari hingga Mei 2022.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA


Maneger menambahkan, walau datanya sebatas puluhan, LPSK meyakini praktik penyiksaan ini sebagai gejala gunung es. Sebab, ia meyakini data itu belum tentu dapat menggambarkan peristiwa sesungguhnya.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

“Bisa jadi peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab tidak semua masyarakat yang mengalami (korban) atau saksi yang melihat itu punya keberanian untuk melapor,” kata Nasution di Jakarta, Senin (27/6/2022).

ADVERTISEMENTS
Berita Lainnya:
Beri Penghargaan Wali Kota Berprestasi ke Gibran dan Bobby, Urat Malu dan Adab Jokowi Sudah Hilang

Nasution mengungkapkan tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK yang tertinggi adalah pada tahap penangkapan. Kedua, ketika ada penyelidikan. Ketiga, justru di luar proses hukum. Kemudian yang terakhir ketika dalam masa tahanan.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil


“Siapa aktornya? Aktor atau pelaku dari penyiksaan itu penyelenggara negara, aparatur negara dan pejabat publik,” ujar Nasution.

Selain itu, LPSK menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Misalnya, yang terjadi di Sumba. “Yang manas-manasi, menghasut oknum tentara untuk melakukan kekerasan itu anggota DPRD,” ucap Nasution.

Nasution menilai fenomena seperti ini masih saja terjadi tidak terlepas dari situasi di Indonesia. Ia menyinggung persoalan substansi hukumnya. Sebab Indonesia belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam undang-undang induk yaitu KUHP.

Berita Lainnya:
LPSK Terima Perlindungan Korban Dugaan Pelecehan Rektor UP

“Dalam KUHP yang diatur adalah norma kekerasan bukan penyiksaan,” ujar Nasution.

Di samping itu, Indonesia memang sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998. Tapi hingga kini belum juga meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). Oleh karena itu, Nasution mendorong pembuat UU memasukkan norma penyiksaan dalam RKUHP.

“Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, di sisa-sisa periode keduanya ini, mengambil inisiatif baru meratifikasi OPCAT. Kalau ini terjadi, sungguh legacy yang baik,” ujar Nasution.


Sumber: Republika

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi