Nasib Mengenaskan Manuskrip Timbuktu

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Pada masa kejayaannya, Timbuktu menjadi tempat yang sarat dengan buku-buku berharga.

ADVERTISEMENTS

JAKARTA — Pada masa kejayaannya, Timbuktu menjadi tempat yang sarat dengan buku-buku berharga. Ratusan ribu manuskrip itu dihiasi dengan kaligrafi dan ilustrasi yang indah.

ADVERTISEMENTS


Bukan hanya ilmu agama, manuskrip itu memuat beragam ilmu pengetahuan. Mulai dari arsitektur, astronomi, ekonomi, geografi, matematika, puisi, musik, obat-obatan, tata bahasa, bahkan hak-hak perempuan. Sebagian besar naskah ditulis dalam bahasa Arab, tapi bahasa Afrika, seperti Songhai, Tamasheq, dan Bambara juga digunakan. Naskah tertua dibuat pada 1204.


Selama bertahun-tahun, naskah-naskah tersebut dijaga oleh beberapa keluarga di Timbuktu. Manuskrip-manuskrip itupun diwariskan secara turun-temurun. Namun, menjaga manuskrip-manuskrip berharga itu bukanlah sesuatu yang mudah.


Apalagi ketika Mali berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis dan pendidikan bahasa Arab di negara itu meredup, penghargaan terhadap manuskrip abad pertengahan itu pun menurun. Bahkan, ada beberapa orang yang rela menjual naskah-naskah tersebut.

ADVERTISEMENTS


Majalah Time pernah menurunkan tulisan tentang seorang imam yang membeli empat naskah kuno Timbuktu seharga 50 dolar AS per naskah. Sementara pada Oktober 2008, salah satu keluarga kebanjiran dan kehilangan 700 manuskrip.

ADVERTISEMENTS


Pada 1970, UNESCO mendirikan sebuah organisasi yang bertugas melestarikan naskah-naskah tersebut. Sayangnya, langkah itu tak kunjung mendapat bantuan dana.  Pada 1998, guru besar dari Universitas Harvard Henry Louis Gates mengunjungi Timbuktu untuk membuat serial berjudul ”Keajaiban Dunia Afrika”. Di luar dugaan, serial ini berhasil membangkitkan kesadaran publik dan akademisi mengenai pentingnya naskah-naskah kuno Timbuktu. Serial itu juga berhasil memancing datangnya  kucuran dana.


Upaya untuk melestarikan manuskrip Timbuktu juga dilakukan oleh Universiti Oslo. Proyek yang berlangsung pada 2000-2007 dibiayai oleh Kerajaan Luxembourg. Universitas Cape Town, Afrika Selatan juga pernah melakukan proyek serupa. 

ADVERTISEMENTS


sumber : Islam Digest

ADVERTISEMENTS

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version