Jumat, 26/04/2024 - 04:31 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

ISLAM

Hukum Menikah tanpa Catatan Negara (KUA)

ADVERTISEMENTS

Menikah yang tercatat oleh negara (KUA) memiliki sejumlah manfaat.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

JAKARTA — Pada zaman dahulu kaum muslimin menikah hanya dengan lafazh dan saksi. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan perlu untuk dicatat dalam catatan resmi seperti KUA (Kantor Urusan Agama). Kendati demikian bagaimana hukum menikah tanpa KUA?

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA

Dikutip dari buku Fiqih Kontemporer karya Abu Ubaidah Yusuf ibn Mukhtar as-Sidawi, Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, tak heran jika para ulama’ berbeda pandangan tentang hukumnya. Silang pendapat mereka dapat dibagi sebagai berikut:

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah

1. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syarat nikah dan tidak ada pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan shahabat Radhiyallahu Anhum.

ADVERTISEMENTS

2. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar peraturan pemerintah.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

3. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat nikah telah terpenuhi; hanya, dia berdosa karena melanggar peraturan pemerintah yang bukan maksiat.

Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab pencatatan akad nikah bukanlah syarat sah pernikahan sebagaimana telah berlalu. Hanya, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan pencatatan akad nikah maka wajib bagi masyarakat untuk menaatinya dan tidak melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan dengan syari’at bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemashlahatan yang banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan betapa banyak penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat di bagian resmi pemerintah.

Berita Lainnya:
Miris! Ustadz Felix Siauw Sebut Banyak Pelanggaran Saat Bukber, Shalat Ditinggal, Masjid Sepi, Mall Ramai

Inilah pula yang difatwakan oleh MUI, mereka menyatakan dalam fatwa No. 10 Tahun 2008:

Pertama: Ketentuan Umum

Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah “Pernikahan yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.”

Kedua: Ketentuan Hukum

1. Pernikahan Di bawah Tangan hukumnya sah karena telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat madharrat.

2. Pernikahan harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak negatif/madharrat (saddan lidz-dzari’ah).”

Dari keterangan di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:

1. Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya sah selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.

Berita Lainnya:
Marak Krisis Rumah Tangga, Simak Gaya Bicara Rasulullah SAW Ini ke Para Istri Beliau

2. Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi ﷺ dan para shahabat Radhiyallahu Anhum hal ini termasuk politik syar’i yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki banyak manfaat.

3. Wajib bagi setiap muslim untuk menaati undang-undang tersebut dan tidak melanggarnya karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Adapun pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di antaranya:

1. Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab, nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti autentik yang tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.

2. Menyelesaikan persengketaan antara suami istri atau para walinya ketika mereka berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki bukti karena saksi telahtiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa diingkari.

3. Catatan dan tulisan akan bertahan lama; meski yang bertanda tangan telah meninggal dunia, catatan masih berlaku. Oleh karena itu, para ulama’ menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.

4. Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah karena akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta penghalang-penghalangnya.

x
ADVERTISEMENTS
1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi