Negara Maju Tanpa Syariat Islam, Mungkinkah?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) saat berada di Asrama Haji, Jakarta Timur. FOTO/Dok. Pribadi. Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Penulis: Rut Sri Wahyuningsih**

ADVERTISEMENTS

MUNGKINKAH menjadi negara maju dengan bertumpu pada peningkatan peran keluarga? Pertanyaan ini begitu menggelitik, hal ini berawal dari pernyataan Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) yang menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia.

ADVERTISEMENTS

Menurutnya, penyebab utama tingginya angka perceraian karena toxic people . Hasto mengatakan bahwa sejak 2015 angka perceraian meningkat pesat. Pada tahun 2021 jumlahnya mencapai 581 ribu keluarga yang bercerai, sedangkan jumlah pernikahan setahun 1,9 juta (Republika.co.id, 28/10/2023).

ADVERTISEMENTS

Hasto menjelaskan bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. BKKBN kemudian mendefinisikan pembangunan keluarga itu adalah untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas, yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan serius karena ada batu loncatannya, tahun 2030 harus terlampaui dengan baik, seperti tidak ada yang kelaparan, tidak ada kemiskinan ekstrem, dan stunting seharusnya sudah turun jauh. Kemudian, angka pendidikan harus bagus. Tambah Hasno, sebenarnya mendidik keluarga itu cukup dengan asah, asih dan asuh. “Asah diajari ilmu agama yang baik, asih dikasihani dengan sebaik baiknya, asuh diimunisasi kemudian diberikan perlindungan yang baik,” katanya.

ADVERTISEMENTS

Jika Semudah itu Mengapa Kemajuan Kian Jauh?

Pertanyaan berikutnya, jika benar apa yang dikatakan dokter Hasto, mengapa negeri ini kian terpuruk? Banyak keluarga yang hancur, padahal semudah itu mendidik keluarga. Apalagi jika melihat berbagai kebijakan pemerintah guna meloloskan diri dari perangkap pendapatan menengah ( middle income trap) 2030 nanti, seolah semakin jauh benar kita bisa mencapai ke tujuan itu.

ADVERTISEMENTS

Middle income trap adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat berada di HSBC Summit 2023 di The St Regis, menyampaikan, untuk bisa lolos dari pendapatan menengah dan menuju menjadi negara maju, maka pendapatan per kapita Indonesia harus berada di atas 10.000 dolar AS atau Rp150 juta per bulan selepas 2030 hingga 2045.

ADVERTISEMENTS

Sedangkan saat ini pendapatan per kapita Indonesia ada di angka 4.700 dolar AS atau setara Rp73 juta (asumsi kurs Rp15.693 per dolar AS). Lalu, pendapatan per kapita Indonesia ditargetkan naik 5.500 dolar AS atau Rp86 juta di 2024 dan ditargetkan 10 ribu dolar AS hingga 2045 (Tirto.id, 23/10/2023). Sungguh upaya yang luar biasa, atau boleh dibilang sesuatu yang mustahil jika tetap sistem yang mendukung kebijakan hari ini tetap kapitalisme. Buktinya Menteri Airlangga sendiri bingung mencari sektor industri apa yang bisa membayar salary di Rp10 juta perbulan.

ADVERTISEMENTS

Faktanya, pasca pandemi Covid-19, semakin banyak perusahaan yang gulung tikar, usaha retail pun menyusul yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Padahal ada banyak keluarga yang harus dinafkahi, jika lapangan pekerjaan saja sulit bagaimana bisa asap dapur tetap mengepul? Janji pemerintah akan ada banyak permintaan kerja dari sisi investasi juga belum bisa ditagih kebenarannya, sebab rata-rata investasi tidak hanya modal saja, tapi juga berupa mesin dan tenaga ahli atau tenaga kerjanya. Sehingga lagi-lagi mempersempit peluang pekerja kita bisa masuk di dalamnya.

ADVERTISEMENTS

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai, butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk gaji pekerja minimal Rp10 juta per bulan. Sebab saat ini rata-rata gaji pekerja hanya sekitar Rp3 juta. Demikian pula dengan pendapat Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, Indonesia hanya bisa menjadi negara maju jika bisa menciptakan produktivitas. Minimal, kata Shinta, produktifitas harus tiga kali lipat diciptakan pada PDB 2023 dengan asumsi jumlah penduduk yang sama. “Kalau pekerja Indonesia secara kumulatif bisa menciptakan tingkat produktifitas ini, gaji Rp10 juta per bulan tidak akan menjadi masalah,” kata Shinta.

ADVERTISEMENTS

Masalahnya, kata Shinta, untuk mencapai ke tingkat produktifitas tersebut, perlu upgrade skills pekerja. Sebab, tidak akan ada negara yang menjadi negara maju karena membayar mahal pekerja unskilled atau low skilled karena tidak make sense dan tidak sustainable secara ekonomi.

“Jadi, kita perlu berfokus pada peningkatan skil dan produktifitas pekerja daripada pada angka pendapatannya,” katanya.

Secara natural, menurut Sinta, gaji naik akan mengikuti peningkatan produktifitas dan nilai tambah yang diciptakan oleh pekerja di perusahaan. Serta berdasarkan kebutuhan dan daya saing pekerja di pasar tenaga kerja.

“Kapan upah Rp10 juta tersebut bisa menjadi standar upah pekerja, ya tergantung pada kecepatan transformasi skills dan struktur ekonomi Indonesia untuk menciptakan produktifitas tersebut,” tutur dia.

Dia mencontohkan, dalam 10 tahun terakhir, struktur pekerja Indonesia tidak berubah, tetap didominasi oleh unskilled workers. Sementara produktifitas komparatif Indonesia dengan negara-negara ASEAN-5 juga biasa saja, malah cenderung turun karena stagnasi pertumbuhan kemampuan tenaga kerja. Jika kondisi di atas bisa diubah dalam 10 tahun mendatang, menjadi didominasi oleh skilled labour dengan parameter pendidikan lulusan SMA ke atas, maka Indonesia bisa mencapai pertumbuhan produktifitas negara maju pada 2036-2038.

Saatnya Ganti Sistem Terbaik: Islam

Para pakar ekonomi Indonesia meragukan Indonesia bakal maju dengan pendapatan perindividu Rp10 juta perbulan. Dan bisa dipastikan tak akan mampu menjadi negara maju jika masih berlandaskan kapitalisme, karena akan selalu berada dalam posisi terjajah tergantung kepada negara lain. Kebijakan perekonomian dalam dan luar negeri selalu meratifikasi negara-negara besar yang notabene mereka pengemban kapitalisme akut.

Di sisi lain, aneh ketika negara melimpahkan tanggungjawab menjadi negara maju tersebut kepada keluarga . Hal ini mencerminkan negara tidak memiliki visi ideologis, abai pada kewajiban sebagai negara . Kebijakan yang diambil semakin ke sini semakin nyeleneh, jika bukan perempuan, pemuda kini keluarga yang dimintai tanggung jawab memajukan bangsa dan negara. Di sisi lain, penguasa semakin getol merancang proyek strategis nasional dengan asing. Bahkan semakin memanjangkan gelaran karpet merah bagi para investor dengan menawarkan investasi di banyak negara.

Investasi banyak tak selalu mendatangkan kemakmuran, seringkali malah menjadi bencana bagi negeri ini, sudahlah kita hanya mendapatkan pajak dari investasi itu, kita pun masih menanggung kerusakan ekosistem dan sosial. Sudah banyak terjadi pertikaian di daerah-daerah yang disitu menjadi lokasi eksplore sumber daya alam yang termaktub dalam perjanjian investasi. Dan penguasa hari ini menutup mata. Padahal Rasulullah saw. Bersabda,” Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum Muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya dan kemiskinannya.” (Diriwayatkan dari Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam).

Islam menjadikan negara memiliki visi menjadi negara adidaya dan memberikan langkah-langkah untuk mewujudkannya. Di antaranya menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyat dari mulai sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Pemenuhan ini dengan mekanisme langsung dan tidak langsung. Darimana pembiayaannya, dari Baitul mal dari pos kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Keduanya berasal dari pengelolaan sumber daya alam, yang sejatinya menjadi hak rakyat dan negara bertindak sebagai wakil rakyat untuk mengelolanya.

Di sinilah perbedaannya, negara samasekali tidak menempatkan kepentingan individu pejabatnya, partainya atau golongannya, melainkan fokus pada amanah perwakilan, juga tidak menyerahkan urusan ini kepada kafir, atau investor asing karena itu artinya sama dengan menghilangkan kedaulatan negara.

Penerapan Islam kaffah akan menghantarkan suatu negara menjadi negara maju dan baldatun thoyyiibatun wa rabbun ghaffur. Masihkah perkara ini kurang bisa dipahami? Sebagai orang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentulah taat totalitas dan menyerahkan kepengurusan kepada syariat Allah adalah harga mati, bukan pilihan. Wallahualam bissawab.[]

**). Penulis adalah Redaktur Kanal Islam di Harian Aceh Indonesia

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version