Selasa, 30/04/2024 - 01:28 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Negara Maju Tanpa Syariat Islam, Mungkinkah?

ADVERTISEMENTS

Penulis: Rut Sri Wahyuningsih**

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

MUNGKINKAH menjadi negara maju dengan bertumpu pada peningkatan peran keluarga? Pertanyaan ini begitu menggelitik, hal ini berawal dari pernyataan Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dr dr Hasto Wardoyo, SpOG(K) yang menyoroti tingginya angka perceraian di Indonesia.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Menurutnya, penyebab utama tingginya angka perceraian karena toxic people . Hasto mengatakan bahwa sejak 2015 angka perceraian meningkat pesat. Pada tahun 2021 jumlahnya mencapai 581 ribu keluarga yang bercerai, sedangkan jumlah pernikahan setahun 1,9 juta (Republika.co.id, 28/10/2023).

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Hasto menjelaskan bahwa pembangunan keluarga adalah pondasi utama tercapainya kemajuan bangsa. BKKBN kemudian mendefinisikan pembangunan keluarga itu adalah untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas, yang hidup dalam lingkungan yang sehat. Indonesia Emas 2045 menjadi tantangan serius karena ada batu loncatannya, tahun 2030 harus terlampaui dengan baik, seperti tidak ada yang kelaparan, tidak ada kemiskinan ekstrem, dan stunting seharusnya sudah turun jauh. Kemudian, angka pendidikan harus bagus. Tambah Hasno, sebenarnya mendidik keluarga itu cukup dengan asah, asih dan asuh. “Asah diajari ilmu agama yang baik, asih dikasihani dengan sebaik baiknya, asuh diimunisasi kemudian diberikan perlindungan yang baik,” katanya.

ADVERTISEMENTS

Jika Semudah itu Mengapa Kemajuan Kian Jauh?

Pertanyaan berikutnya, jika benar apa yang dikatakan dokter Hasto, mengapa negeri ini kian terpuruk? Banyak keluarga yang hancur, padahal semudah itu mendidik keluarga. Apalagi jika melihat berbagai kebijakan pemerintah guna meloloskan diri dari perangkap pendapatan menengah ( middle income trap) 2030 nanti, seolah semakin jauh benar kita bisa mencapai ke tujuan itu.

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil
Berita Lainnya:
Dampak Konflik Iran-Israel Bisa Sampai ke Indonesia, Pemerintah Diingatkan tak Main-Main

Middle income trap adalah suatu keadaan ketika suatu negara berhasil mencapai tingkat pendapatan menengah, tetapi tidak dapat keluar dari tingkatan tersebut untuk menjadi negara maju. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto saat berada di HSBC Summit 2023 di The St Regis, menyampaikan, untuk bisa lolos dari pendapatan menengah dan menuju menjadi negara maju, maka pendapatan per kapita Indonesia harus berada di atas 10.000 dolar AS atau Rp150 juta per bulan selepas 2030 hingga 2045.

Sedangkan saat ini pendapatan per kapita Indonesia ada di angka 4.700 dolar AS atau setara Rp73 juta (asumsi kurs Rp15.693 per dolar AS). Lalu, pendapatan per kapita Indonesia ditargetkan naik 5.500 dolar AS atau Rp86 juta di 2024 dan ditargetkan 10 ribu dolar AS hingga 2045 (Tirto.id, 23/10/2023). Sungguh upaya yang luar biasa, atau boleh dibilang sesuatu yang mustahil jika tetap sistem yang mendukung kebijakan hari ini tetap kapitalisme. Buktinya Menteri Airlangga sendiri bingung mencari sektor industri apa yang bisa membayar salary di Rp10 juta perbulan.

Berita Lainnya:
Mau Perang Tapi Kere, Bagaimana?

Faktanya, pasca pandemi Covid-19, semakin banyak perusahaan yang gulung tikar, usaha retail pun menyusul yang berdampak pada meningkatnya angka pengangguran. Padahal ada banyak keluarga yang harus dinafkahi, jika lapangan pekerjaan saja sulit bagaimana bisa asap dapur tetap mengepul? Janji pemerintah akan ada banyak permintaan kerja dari sisi investasi juga belum bisa ditagih kebenarannya, sebab rata-rata investasi tidak hanya modal saja, tapi juga berupa mesin dan tenaga ahli atau tenaga kerjanya. Sehingga lagi-lagi mempersempit peluang pekerja kita bisa masuk di dalamnya.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai, butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk gaji pekerja minimal Rp10 juta per bulan. Sebab saat ini rata-rata gaji pekerja hanya sekitar Rp3 juta. Demikian pula dengan pendapat Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, Indonesia hanya bisa menjadi negara maju jika bisa menciptakan produktivitas. Minimal, kata Shinta, produktifitas harus tiga kali lipat diciptakan pada PDB 2023 dengan asumsi jumlah penduduk yang sama. “Kalau pekerja Indonesia secara kumulatif bisa menciptakan tingkat produktifitas ini, gaji Rp10 juta per bulan tidak akan menjadi masalah,” kata Shinta.

x
ADVERTISEMENTS
1 2 3

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi