Kedua sosok itu mewakili Islam sebagai pandangan hidup. Sebelumnya, hampir semua presiden mempunyai pandangan sekuler. Meskipun KPU mengatakan Amin kalah, namun umat Islam meyakini sesungguhnya mereka menang, jika Pemilu berlangsung jujur dan adil.
Fundamental lainnya bagi umat Islam adalah sebuah kepercayaan kebangkitan Islam dalam 100 tahun, dan itu jatuh pada tahun ini, 2024. Para mujahid mengatakan, ini adalah Nubuat Nabi. Artinya, suatu ajaran sakral.
Islam diyakini akan memimpin Indonesia, karenanya menjadi agenda yang akan terus menerus diperjuangkan oleh kaum ulama dengan semangat. Ini yang saya sebut sebagai “Di Bawah Lindungan Ka’bah”. Sebuah upaya terwujudnya “Community of Share Destiny” versi Islam, bukan Peking.
Pergolakan ke Depan
Pergerakan Bangsa Indonesia ke depan akan semakin tajam dalam konflik antara sebagian bangsa yang terikat dengan agenda besar Peking di Indonesia, melawan sebagian lainnya yang berbasis pada agenda kebangkitan Islam. Konflik itu sedang berlangsung dengan kemarahan rakyat melihat hasil Pemilu yang dianggap dikendalikan kekuasaan Jokowi.
Kunjungan Prabowo ke China tentu saja dicurigai sebagai sebuah fakta adanya perjanjian politik antara Jokowi, sebelumnya, dan dilanjutkan Prabowo, dengan Xi Jinping. Sebab, sekali lagi, tidak relevan seorang pejabat negara yang belum dilantik presiden, diumumkan diundang bertemu kepala negara lainnya, yakni Xi Jinping.
Sebagai bandingan, beberapa waktu lalu Jokowi berjanji bahwa dia yang akan memperkenalkan presiden baru kelak kepada Pangeran MBZ dan MBS, akhir Desember lalu, saat kunjungan ke sana.
Jika Prabowo melakukan sebuah kesepakatan politik sebelum dilantik menjadi presiden, dengan Xi Jinping, tentu wibawa Prabowo di mata Rakyat Indonesia akan terpuruk. Khususnya bagi umat Islam, yang sepanjang sejarah mencurigai China sebagai anti Islam.
Disamping urusan dengan Islam, sejarah juga mencatat, Raja Jawa, Prabu Kertanegara, Kerajaan Singosari, telah memotong kuping utusan China, sambil berkata: “Bilang sama rajamu, Singosari tidak sudi dijajah China”. Dengan demikian, kepemimpinan Prabowo ke depan, jika dia yang menjadi presiden, akan diragukan oleh bangsanya sendiri.
Penutup
Undangan China kepada Prabowo untuk bertemu Presiden Xi Jinping membawa spekulasi lain terhadap isu perpecahan bangsa ke depan. Bagaimana seorang pejabat yang belum presiden diundang negara lain sebagai “next president”, yang membicarakan keberlanjutan hubungan kedua negara?
Apakah selama ini Indonesia sudah benar-benar tidak bisa independen dari China? Ini menjadi catatan kita ke depan.
Di bawah lindungan China selama era Jokowi, tentu saja kita saksikan masyarakat Indonesia, khususnya mayoritas muslim, mengalami marginalisasi. Belum lagi politik China yang selama ini dalam strategi Belt and Road, dikombinasikan dengan keterlibatan front bersama China Overseas, yang tidak memberi kesempatan pribumi bangkit menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Di sisi lain, adanya kepercayaan Nubuat Nabi tentang kebangkitan Islam saat ini, membuat gerakan Islam terus maju tanpa tunduk pada kekuasaan. Maka, perbenturan sosial terus menjadi berkepanjangan ke depan.
Semoga bangsa kita selamat nantinya, “Di bawah Lindungan Ka’bah”, bukan Peking.
*(Direktur Eksekutif Sabang Merauke Circle)