UPDATE

OPINI
OPINI

Long March To Gaza: Pentingya Membebaskan Pemikiran Sebelum Membebaskan Tanah

DI tengah debu dan nyala api di Gaza, saat langit malam lebih sering disinari rudal daripada bintang, sebuah konvoi perlawanan diam-diam bergerak: “Long March to Gaza.” Aksi solidaritas global ini bukan sekadar tentang membuka perbatasan Rafah atau mengantar bantuan ke warga Gaza, namun menjadi simbol perlawanan terhadap bentuk penjajahan yang lebih dalam dan lebih licik: penjajahan pemikiran.

Long March bukan hanya tentang kaki yang melangkah, bukan hanya tentang suara yang menggema dari podium aktivis dunia. Ini adalah protes terhadap sistem yang selama ini membungkam, terhadap narasi dominan yang menyudutkan perlawanan sebagai radikalisme, terhadap normalisasi penjajahan yang dikemas sebagai perjanjian damai. Ini adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu ketundukan terhadap tirani pikiran.

Panggung Pengkhianatan yang Terbuka

Apa yang terjadi di Gaza adalah cermin paling jujur dari krisis moral global. Namun, krisis ini tidak semata ditentukan oleh zionis Israel atau sekutunya di Barat. Ironisnya, banyak negara-negara Arab justru menjadi tameng yang melindungi Israel dari kecaman dan tekanan rakyatnya sendiri.

Taufan al Aqsa membongkar itu semua. Dari Mohammed bin Salman di Arab Saudi, Recep Tayyip Erdogan di Turki, Mohammed bin Zayed di UEA, hingga Ahmad Al Sharaa di Suriah—semua terseret dalam arus sejarah yang memalukan, tertulis sebagai penguasa yang memilih kestabilan palsu dan kekuasaan semu dibanding keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan.

Namun satu nama kini menjadi pusat kritik keras: Abdel Fattah al-Sisi. Di saat rakyat dunia berbondong-bondong ke Rafah demi mengakhiri blokade Gaza, Mesir justru menutup pintunya. Bukannya menyambut, Mesir menyerang—secara fisik, hukum, dan psikologis—terhadap para aktivis yang menyerukan kemanusiaan. Mereka dipukul, ditahan, dideportasi, bahkan dipaksa menundukkan kepala di tanah Mesir yang dulu dikenal sebagai jantung dunia Islam.

Apakah ini wajah asli peradaban Mesir hari ini?

Seorang aktivis wanita dari Inggris, bukan Muslim, memohon sambil berlutut kepada tentara Mesir agar membukakan pintu Rafah. “Wanita-wanita tak bisa menyusui anak-anak mereka. Anak-anak sedang sekarat. Saya datang dari Eropa untuk membela mereka.” Suaranya lirih namun menusuk, bukan hanya kepada Mesir, namun kepada kita semua.

Dilema Umat dan Penjara Bernama Penjajahan Pikiran

Mengapa tentara Mesir bisa melakukan hal itu dengan linangan air mata? Karena sebagian dari mereka masih memiliki nurani. Namun nurani mereka tersandera. Mereka takut. Takut pada rezim. Takut pada Israel. Takut pada Amerika. Takut pada kemungkinan yang belum terjadi. Karena dalam kepala mereka telah ditanam satu paradigma: bahwa membuka Rafah berarti kiamat.

Inilah penjajahan pemikiran—intellectual colonization. Sebelum kita menyalahkan tangan-tangan yang menutup pintu Rafah, kita harus bertanya: apa yang membuat tangan itu begitu takut untuk membuka? Apa yang menakutkan dari memberi bantuan kepada anak-anak yang kelaparan?

Berita Lainnya:
COP30 Brasil: Menggugat Tanggung Jawab Sejati di Balik Krisis Iklim

Jawabannya: ketakutan yang dibentuk dari narasi palsu dan propaganda selama puluhan tahun.

Penjajahan ini tidak hanya terjadi di Mesir, tetapi juga menyelimuti seluruh dunia Islam. Kita semua—secara sadar atau tidak—telah dikondisikan untuk percaya bahwa Israel tak terkalahkan, bahwa perlawanan adalah terorisme, bahwa solidaritas adalah tindakan subversif. Bahkan untuk menangis saja, kini harus melalui izin.

Seorang aktivis berkata, “Sebelum Taufan al Aqsa, saya pikir hanya Palestina yang dijajah. Tapi kini saya sadar, hanya Palestina satu-satunya tempat yang merdeka pikirannya.” Ucapan ini layak menjadi refleksi kita semua. Sebab kemerdekaan berpikir itulah yang telah hilang dari dunia Islam hari ini.

Tipuan Israel: Goliath dengan Kaki dari Tanah Liat

Citra Israel sebagai negara superpower di kawasan, dijaga dengan cermat oleh media dan sekutunya. Namun kenyataannya jauh dari itu. Israel rapuh. Mereka memiliki tentara, senjata, teknologi, bahkan bom nuklir—namun tidak memiliki ketahanan moral dan mental yang utuh.

Operasi Taufan al Aqsa dan serangan rudal Iran ke Tel Aviv beberapa waktu lalu menunjukkan kenyataan itu. Puluhan rudal menembus sistem pertahanan udara “tercanggih di dunia”. Netanyahu bersembunyi. Tentara-tentaranya depresi. Bahkan tingkat bunuh diri di kalangan tentara IDF melonjak tajam.

Jika benar Israel sekuat itu, mengapa negara kecil seperti Gaza mampu membuatnya porak-poranda? Jika pertahanannya sempurna, mengapa rudal bisa menembusnya? Jika benar memiliki kekuatan, mengapa harus bergantung pada negara-negara Arab untuk membantu mempertahankan dirinya?

Sistem propaganda menjadikan kita buta. Kita terlalu sibuk mengonsumsi informasi tanpa mengolahnya. Terlalu lama kita ditidurkan oleh retorika dan ketakutan, hingga tak lagi bisa membedakan antara realitas dan ilusi.

Ironi Para Pengkhianat

Yordania, negara yang secara historis memiliki ikatan kuat dengan Palestina, justru membantu Israel menembak jatuh drone Iran. Pakistan, negara mayoritas Muslim dengan kekuatan militer besar, memilih diam bahkan condong mendukung posisi Israel. Semua ini membuktikan satu hal: kita dikelilingi oleh pengkhianat, yang lebih takut kehilangan dukungan Amerika daripada kehilangan harga diri dan iman.

Persaudaraan Islam yang seharusnya menjadi tameng utama melawan kezaliman, dikoyak oleh nasionalisme, sekularisme, dan kepentingan politik praktis. Umat Islam diperintah untuk bersatu, namun justru diajari untuk saling curiga. Negara-negara yang seharusnya menjadi benteng Islam, berubah menjadi pelayan kekuasaan Barat.

Inilah balada para pengkhianat. Mereka bukan hanya mengkhianati Palestina. Mereka mengkhianati Rasulullah SAW, mengkhianati Al-Qur’an, mengkhianati syuhada, dan mengkhianati umat yang terus berharap pada mereka.

Kunci Pembebasan

Kita harus berani mengatakan: sistem saat ini telah gagal. Negara-negara Islam tidak bisa lagi bergerak berdasarkan kepentingan nasional sempit. Dunia Islam butuh visi baru—atau tepatnya visi lama yang telah dikubur: Khilafah Islamiyah.

Berita Lainnya:
15 Siswa SMP Positif Narkoba: Alarm Besar Kerusakan Remaja

Khilafah bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi kebutuhan mendesak umat hari ini. Dalam Khilafah, tidak ada sekat nasionalisme, tidak ada perjanjian dengan penjajah, tidak ada ketundukan pada zionis, dan tidak ada kekuasaan atas nama demokrasi yang bisa diperjualbelikan.

Ukhuwah Islamiyah yang sejati hanya bisa dibangun di atas akidah yang sama, dengan satu kepemimpinan, satu tujuan, dan satu bendera. Jika tidak, maka umat ini akan terus menjadi bulan-bulanan—seperti yang terjadi sekarang di Gaza, Yaman, Suriah, Rohingya, dan tempat-tempat lain.

Mengetuk Penjara Pemikiran

Semua perjuangan fisik akan sia-sia jika pemikiran tetap terkunci. Kita tidak mungkin memenangkan perang fisik jika kita kalah dalam perang ide. Oleh karena itu, langkah awal paling strategis dan mendasar adalah membebaskan umat ini dari penjajahan pemikiran.

Kita harus membongkar narasi-narasi palsu yang selama ini membentuk opini publik. Kita harus berani mengatakan bahwa dunia ini sedang sakit—dan yang paling parah: banyak dari kita tidak sadar sedang sakit.

Pembebasan pemikiran ini harus dimulai dari pendidikan, media, dakwah, diskusi publik, dan penguatan ideologi Islam dalam ruang-ruang akademik dan masyarakat. Kita harus mencetak generasi yang tidak hanya peduli, tapi paham akar masalah. Kita butuh aktivis, cendekiawan, jurnalis, dan politisi yang tidak takut menyuarakan kebenaran walau diancam.

Sebuah Doa dan Seruan

Mufti besar Libya, Syekh Al-Sadiq Al-Ghariani, mengatakan dengan tegas bahwa siapa pun yang menutup perbatasan Rafah, siapa pun yang menghalangi bantuan ke Gaza, siapa pun yang membantu Israel dengan dalih apapun—maka mereka adalah bagian dari kejahatan. Dan mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

“Dan janganlah kamu condong kepada orang-orang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka.” (QS. Hud: 113)

Kita tidak punya banyak waktu. Gaza sudah lama menunggu. Anak-anak mereka tumbuh dalam penderitaan. Orang tua mereka wafat dalam kepiluan. Dan para pejuang mereka gugur dalam kesunyian.

Tugas kita bukan sekadar mengutuk atau menyumbang. Tugas kita adalah mengembalikan kemerdekaan pikiran umat ini. Membebaskan mereka dari ketakutan yang tidak nyata. Mengajak mereka melihat kenyataan dengan mata iman dan logika yang jernih.

Karena pembebasan tanah suci Palestina tidak akan pernah terjadi selama umat ini masih dijajah pikirannya. Liberation of land must be preceded by liberation of the mind.

Mari kita mulai dari sini. Dari kata-kata yang membebaskan. Dari pemikiran yang tercerahkan. Dari hati yang kembali pada fitrahnya: mencintai kebenaran, menolak kezaliman, dan siap untuk berjuang.

Allahu Akbar! Palestina akan merdeka. Umat ini akan bangkit. Dan keadilan akan kembali memimpin dunia. Tapi itu semua dimulai dari satu hal: keberanian berpikir merdeka.[]

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.