UPDATE

OPINI
OPINI

Konser Itu Bernama Banjir

image_print

Oleh: dr. Masry, Sp. An**

DI Aceh, konser musik kerap dianggap sebagai ancaman moral. Dentuman bass dicurigai sebagai panggilan setan, kerumunan anak muda dituduh sebagai pesta maksiat. Panggung bisa dibongkar dalam hitungan menit, izin keramaian bisa dicabut dalam satu surat edaran. Tapi ada satu konser yang tak pernah dibubarkan, tak pernah ditolak, tak pernah dianggap mengganggu ketertiban umum: konser banjir.

Line-up Tahunan

Setiap musim hujan, banjir tampil sebagai bintang utama. Tak perlu promosi, tak perlu baliho, tak perlu undangan. Ia datang dengan irama khasnya: gemuruh air yang menabrak dinding rumah, deru angin yang menyapu atap seng, dan jerit warga yang kehilangan harta benda. Sungai menjadi drum yang ditabuh tanpa henti, hujan menjadi vokalis utama yang tak pernah kehabisan nada. Jalan raya berubah jadi panggung terbuka, tempat kendaraan mengapung dan anak-anak berenang di antara arus keruh. Penontonnya? Rakyat jelata yang tak pernah membeli tiket, tapi selalu dipaksa hadir.

Per 2 Desember 2025 pukul 09.00 WIB, konser ini telah menyedot “penonton” dalam jumlah yang mencengangkan: hampir 1,5 juta jiwa terdampak, dan hampir setengah juta di antaranya terpaksa mengungsi ke 828 titik pengungsian. Sebuah rekor baru dalam sejarah pertunjukan bencana.

Padahal, dua hari sebelumnya, pada 30 November pukul 20.30 WIB, jumlah korban “baru” menyentuh 526.098 jiwa di 18 kabupaten/kota. Kini, hanya dalam 48 jam, angka itu melonjak dua kali lipat. Konser ini bukan hanya rutin, tapi juga ekspansif—menyerang 224 kecamatan di 1.652 gampong. Tak ada panggung yang aman, tak ada desa yang luput.

Sponsor Tak Resmi

Konser musik dilarang karena dianggap merusak moral generasi muda. Tapi konser banjir justru disponsori oleh jaringan kelalaian yang rapi: tata ruang yang semrawut, izin pembangunan yang longgar, drainase yang tersumbat oleh proyek setengah hati, dan anggaran yang menguap entah ke mana. Di balik panggung banjir, ada aktor-aktor tak terlihat: pengembang yang menimbun rawa, pejabat yang menutup mata, dan birokrasi yang lebih sibuk mengatur konser dangdut daripada mengatur aliran air.

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Kerusakan infrastruktur menjadi panggung roboh yang menyulitkan distribusi bantuan: 275 titik jalan terputus, 146 jembatan rusak. Fasilitas publik ikut tumbang: 132 kantor, 46 rumah ibadah, 157 sekolah, dan 2 pesantren. Rumah warga? Hampir 50 ribu unit terdampak. Sawah dan kebun? Lebih dari 150 ribu hektare tenggelam. Bahkan ternak pun ikut jadi korban: 18 ekor tercatat hilang atau mati.

Encore Tanpa Henti

Konser musik bisa dibubarkan dalam satu malam. Tapi konser banjir selalu kembali, encore saban tahun, dengan lagu lama yang tak pernah diganti. Lagu-lagu itu sudah akrab di telinga warga: air masuk rumah, listrik padam, sawah tenggelam, janji pejabat. Tak ada aransemen baru, tak ada improvisasi. Hanya repetisi dari ketidakpedulian yang diwariskan dari satu periode ke periode berikutnya.

Jumlah korban jiwa pun melonjak drastis: 102 orang meninggal dunia, 116 hilang, 326 luka berat, dan 1.286 luka ringan. Sementara itu, 292.806 jiwa terpaksa mengungsi di 403 titik pengungsian. Ini bukan konser, ini eksodus. Tapi tetap saja, tak ada larangan, tak ada pembubaran.

Daerah Paling Terdampak: Panggung Utama

Beberapa kabupaten/kota menjadi panggung utama dari pertunjukan duka ini. Aceh Utara mencatatkan dua kali lipat jumlah terdampak: 197.339 jiwa dan 46.830 jiwa dalam dua klaster berbeda. Disusul Bener Meriah (57.597 jiwa), Aceh Tengah (54.199 jiwa), Gayo Lues (46.893 jiwa), dan Pidie (34.749 jiwa). Mereka bukan sekadar angka, mereka adalah tubuh-tubuh yang menggigil di tenda pengungsian, anak-anak yang kehilangan sekolah, petani yang kehilangan musim.

Penutup: Simfoni Ketakberdayaan

Di Aceh, konser musik dianggap dosa. Tapi konser banjir dianggap takdir. Padahal, yang lebih merusak bukan gitar atau drum, melainkan air yang menelan sawah, rumah, dan harapan. Yang lebih memekakkan bukan suara amplifier, tapi jeritan ibu-ibu yang kehilangan dapur dan dapur hidupnya. Yang lebih mengguncang bukan hentakan musik, tapi kenyataan bahwa banjir bukan bencana alam semata, melainkan bencana tata kelola.

Konser musik bisa dicegah dengan surat larangan. Tapi konser banjir? Ia tetap digelar, tanpa tiket, tanpa izin, tanpa henti. Ia adalah pertunjukan tahunan yang disutradarai oleh abainya negara dan diamnya publik. Dan selama kita lebih sibuk membubarkan panggung hiburan daripada memperbaiki panggung kebijakan, konser banjir akan terus berlangsung—dengan penonton yang sama, korban yang sama, dan irama yang makin menyayat.

**). Penulis adalah warga Aceh yang berdomilisi di ujung sudut kota Banda Aceh

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.