Sering kali, ketika musibah datang menimpa kita — banjir, kehilangan harta, ketidakpastian hidup — hati terasa sempit. Kita merasa beban ini paling berat, luka ini paling dalam. Namun, jika kita menengok sedikit ke luar diri, ke luar kampung dan negeri, kita akan sadar: kita bukan yang paling menderita.
Di Aceh, banjir bandang datang tanpa permisi. Air membawa lumpur, kayu, dan puing, merobohkan rumah-rumah sederhana, memisahkan keluarga, dan memutus penghidupan. Ada yang kehilangan sawah, ada yang kehilangan ternak, bahkan ada yang kehilangan orang tercinta. Luka ini nyata, air mata ini sungguh.
Namun pada saat yang sama, di Gaza, saudara-saudara kita hidup di bawah dentuman bom dan reruntuhan. Mereka bukan hanya kehilangan rumah, tapi juga kehilangan rasa aman, kehilangan sekolah bagi anak-anaknya, kehilangan rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat berlindung. Bagi mereka, malam bukan lagi waktu istirahat, melainkan waktu menunggu: apakah masih ada esok hari.
Di Sudan, konflik berkepanjangan memaksa jutaan orang mengungsi. Kelaparan dan penyakit mengintai di kamp-kamp darurat. Anak-anak tumbuh tanpa kepastian, para ibu bertahan dengan sisa-sisa harapan. Sementara dunia sering lupa, penderitaan mereka terus berjalan.
Dan Rohingya — yang terusir dari tanah kelahirannya, hidup tanpa kewarganegaraan, tanpa perlindungan hukum. Bertahun-tahun menjadi pengungsi, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sering kali ditolak dan dicurigai. Mereka hidup dengan satu pertanyaan pahit: di mana rumah kami?
Mereka semua adalah saudara kita sebagai Muslim dan sebagai sesama orang beriman, bahkan sebagai sesama manusia. Rasulullah Saw mengajarkan bahwa orang-orang beriman itu ibarat satu tubuh; ketika satu bagian sakit, bagian lain ikut merasakan. Maka, musibah yang menimpa Aceh tidak terpisah dari Gaza, Sudan, atau Rohingya. Rasa pedih mereka seharusnya menggugah empati kita, bukan untuk membandingkan derita, tetapi untuk meluaskan hati.
Menyadari bahwa kita bukan yang paling menderita bukanlah untuk mengecilkan luka kita sendiri. Bukan pula untuk melarang kita bersedih. Tapi agar duka itu tidak berubah menjadi keputusasaan, dan agar keluhan tidak mematikan rasa syukur. Dari kesadaran ini, lahir kekuatan: untuk saling membantu, untuk berbagi, untuk mendoakan, dan untuk tetap percaya bahwa Allah tidak pernah lalai melihat hamba-Nya.
Barangkali kita masih punya atap meski bocor, sementara yang lain tak punya rumah sama sekali. Barangkali kita masih bisa mengeluh, sementara yang lain bahkan tak punya ruang untuk bersuara. Maka, dari sini, mari kita bangkit bersama: menguatkan yang lemah, mendoakan yang terluka, dan menolong sebisanya. Karena iman bukan hanya soal bertahan dalam ujian, tetapi juga soal hadir bagi sesama yang sedang diuji. ***






























































































