UPDATE

NASIONAL
NASIONAL

Politik Langitan: Politik di Atas Politik

OLEH: DR. MULYADI (OPU ANDI TADAMPALI)*

   

FENOMENA diskriminasi dan diskreditasi terhadap Politik telah berlangsung lama dalam masyarakat. Dari pikiran hingga tindakan, politik telah dipersepsi sebagai suatu kegiatan atau tindakan yang kotor, tidak bermoral, tidak etis, manipulatif, eskpolitatif, dan tidak profesional, sehingga harus dijauhi oleh masyarakat. 

Implikasinya adalah politik dikerumuni oleh orang-orang buruk, yang mengabaikan nilai-nilai luhur, moral, dan etika. 

Mereka yang terjun ke dunia politik seringkali dianggap sebagai orang yang tidak memiliki kapasitas politik, kapabilitas politik, dan integritas politik. Para aktor-aktor politik terutama para politisi, umumnya dipersepsi sebagai orang-orang yang haus kekuasaan dan status, serta hanya peduli dengan nasibnya sendiri.

Persepsi negatif ini membuat banyak orang yang sebenarnya memiliki niat baik dan ingin berkontribusi dalam politik merasa tidak ingin terlibat dalam politik. Mereka merasa bahwa politik bukanlah tempat yang suci dan bersih, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut. Hal ini menyebabkan kualitas politik menjadi menurun, karena hanya orang-orang buruk yang mau terlibat dalam politik.

Artikel ini membahas dua aspek politik: 

(1) aspek internal politik: Politik adalah dasar legitimasi dan justifikasi politik bagi kegiatan dan tindakan politik dalam mewujudkan kebaikan umum. Aspek internal ini merupakan esensi politik, yaitu tujuan yang ingin dicapai; 

(2) aspek eksternal politik: Politik adalah kegiatan dan tindakan politik dalam mewujudkan kebaikan umum. Aspek eksternal ini merupakan eksistensi politik, yaitu sebagai alat efektif dan efesien  politik untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum.

Pada aspek internal politik (Tujuan Politik), esensi politik berada dalam lingkup Norma Religius (Teologi Politik) dan Norma Moral (Filsafat Politik). Sedangkan pada aspek eksternal politik (Tindakan Politik), eksistensi politik berada dalam lingkup Nalar Ilmiah (Pemikiran Politik), Nalar Etis (Ideologi Politik), dan Publik Etis (Opini Politik).

Kesalahan Yang Dijaga

Politik yang dipersepsi sebagai suatu kegiatan atau tindakan yang kotor, tidak bermoral, tidak etis, manipulatif, eskpolitatif, tidak profesional didasarkan pada pandangan bahwa politik adalah tentang manipulasi, penipuan, dan eksploitasi kekuasaan dan kepentingan. 

Persepsi negatif ini bukanlah patologi politik sebagai produk samping dari kegagalan pembangunan dan perubahan politik. Persepsi ini adalah hasil dari proses pembusukan politik (polical decay) yang disengaja  dipelihara dan dijaga agar orang-orang yang tidak memiliki kapasitas politik, kapabilitas politik, dan integritas politik lebih leluasa dan secara berkelanjutan dapat mendominasi kehidupan politik. 

Saya katakan demikian, karena masyarakat sengaja dibiarkan tidak memperoleh pengetahuan tentang defenisi dan pengertian politik yang benar. Sejak negara dan kekuasaan dibincangkan, ruang-ruang publik secara terus-menerus dipenuhi narasi-narasi politik tentang politik Machiavellian dan Hobbesian. 

Itu tercermin jelas dan nyata dari tiga inti defenisi buruk praktik politik yang mewarnai diskursus politik, yaitu: 

(1)    Politik ialah segala kegiatan atau tindakan yang diawali dengan kebohongan, ditengahi dengan kemunafikan, dan diakhiri dengan tega-tegaan; 

(2)    Politik adalah tentang pengorganisasian kebencian, dendam, dan perlawanan;

(3)    Politik adalah tentang siapa mendapat apa, dimana mendapat apa, dan kapan mendapat apa.

Memang betul bahwa unsur-unsur defenisi tersebut juga adalah politik, tapi itu bukanlah politik dalam maknanya yang tepat. Itu adalah politik yang anti-politik, yang harus diyakini dan dipercayai sebagai “kesalahan yang dijaga”. bahwa itu adalah politik yang anti-politik. Pandangan yang bersandar pada ketiga inti defenisi tersebut harus disebut sebagai “kesalahan fatal yang disengaja”.

Definisi politik yang salah kaprah ini telah menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada politik dan politisi. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk merehabilitasi citra politik dan mengembalikan politik ke jalur yang benar. Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa politik adalah suatu kegiatan yang kompleks dan multifaset. Politik melibatkan berbagai aspek, termasuk kekuasaan, kepentingan, nilai, dan norma. Oleh karena itu, politik harus dipahami sebagai suatu sistem yang dinamis dan terus berkembang.

Definisi dan pengertian politik yang tepat ialah segala upaya individu, kelompok dan atau organisasi untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum. Kebaikan umum dan kehendak umum ini keduanya sangat ekstensial, subtansial dan esensial, karena merupakan kepentingan umum, dimana inti kepentingan umum tidak ada yang lain, selain masyarakat makmur, damai, tenteram dan sejahtera, yang ditetapkan sejak pemikiran politik tentang negara mulai dicetuskan. 

Pada level kegiatan atau tindakan, politik adalah tentang memenuhi dan melayani kepentingan umum, bukan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Tujuan politik yang sesungguhnya adalah untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan umum, dan hanya bisa diwujudkan jika kita berangkat dari konsep dan paradigma “Politik Langitan”, bukan konsep “Politik Hipokrik” atau  “Politik Pencitraan”.

Berita Lainnya:
Jasad Zainuddin Masih Utuh usai 27 Tahun Dikubur di Lutra, Ini Rahasianya

Pada bagian ini, saya ingin memulai mengklaim  bahwa “Politik Langitan” selain konsep, juga paradigma. Setidaknya ada empat argumen saya untuk klaim saya, yaitu:

(1)    Kaitan dengan Teori Politik Normatif: “Politik Langitan” dapat dihubungkan dengan teori politik normatif yang menekankan pentingnya nilai-nilai etis dan moral dalam politik, seperti teori keadilan Rawls dan teori kebaikan umum Aristoteles.

(2)    Referensi pada Pemikiran Filosofis: Ada banyak pemikiran politik filosofis yang menghubungkan politik dengan spiritualitas atau transendensi, seperti konsep “Siyasah Syar’iyyah” (Politik Syariah), Konsep “Khilafah” (Khalifah); pemikiran dan konsep “Madinah Fadhilah” (Kota Utama) dari Al-Farabi (872-950 M);  teori “Asabiyah” (solidaritas sosial) dari Ibn Khaldun (1332-1406 M); dan konsep “Khilafah” (Khalifah), pemikiran Plato (Republik), pemikiran filosofis Timur: konsep “dharma” dalam Hinduisme/Buddhisme.

(3)    Analisis Konseptual: Analisis konseptual dapat menunjukkan bagaimana “Politik Langitan” berbeda dengan konsep lain, misalnya, politik pragmatis, politik realis dan dengan menawarkan kerangka berpikir yang unik.

(4)    Contoh Kasus: Ada banyak contoh kasus di Indonesia di mana “Politik Langitan” dapat digunakan sebagai kerangka analisis untuk memahami fenomena politik, seperti kebijakan berbasis nilai spiritual, gerakan sosial berbasis agama yang dilakukan oleh Ormas-Ormas Keagamaan.

“Dalam konteks teori politik normatif, “Politik Langitan” menawarkan paradigma yang menekankan pentingnya nilai-nilai transendental dalam pengambilan keputusan politik, seperti kebijakan hari libur yang terkait dengan perayaan hari-hari besar agama, kebijakan toleransi antar umat beragama terkait dengan Pancasila, program “Bank Sampah” di beberapa daerah terkait dimensi etis menjaga lingkungan dan spiritualitas berbagi, kegiatan “Jumat Berkah” yang berorientasi pada kebaikan umum dengan mempertimbangkan dimensi spiritual dan etis’.

Politik Di Atas Politik

Dalam upaya untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum, politik harus didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral. Politik harus tentang melayani kepentingan masyarakat, bukan tentang kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan demikian, politik dapat menjadi suatu alat yang efektif dan efesien untuk menciptakan masyarakat makmur dan sejahtera.

Untuk memudahkan memahami “Politik di Atas Politik” atau “Politik Langitan”, saya harus membagi politik menjadi dua aspek, yaitu:  aspek internal politik (tujuan politik: esensi politik) yang saya sebut sebagai “Politik Langitan”; dan aspek eksternal politik (tindakan politik: eksistensi politik).     

(1) Aspek internal politik (Tujuan Politik: Esensi Politik): Politik adalah dasar legitimasi dan justifikasi politik bagi kegiatan dan tindakan politik dalam mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum. Aspek internal ini merupakan esensi politik, yaitu tujuan yang ingin dicapai. 

Pada aspek internal politik ini, esensi politik berada dalam lingkup:

(a)    Norma Religius (Teologi Politik): Politik terkait dengan nilai-nilai agama dan keyakinan spiritual yang menjadi dasar legitimasi politik.

(b)    Norma Moral (Filsafat Politik): Politik terkait dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang menjadi landasan tujuan politik.

(2)    Aspek eksternal politik (Tindakan Politik: Eksistensi Politik): Politik adalah kegiatan atau tindakan politik dalam mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum. Aspek eksternal ini merupakan eksistensi politik, yaitu sebagai alat efektif dan efesien untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum. 

Pada aspek eksternal politik ini, eksistensi politik berada dalam lingkup: 

(a)    Nalar Ilmiah (Pemikiran Politik): Politik diwujudkan melalui pemikiran rasional dan analisis ilmiah untuk mencapai tujuan.

(b)    Nalar Etis (Ideologi Politik): Politik diwujudkan melalui ideologi yang menjadi pedoman tindakan politik. 

(c)    Publik Etis (Opini Politik); Publik Etis (Opini Politik): Politik diwujudkan melalui opini dan partisipasi publik yang membentuk kebijakan.

Politik Langitan

“Politik Langitan” merupakan konsep dan paradigma politik yang berorientasi pada terwujudnya tujuan politik berupa kebaikan umum berdasarkan kehendak umum, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bersama. Politik Langitan dapat didefinisikan sebagai segala kegiatan dan tindakan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, moral, dan etika yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat makmur dan sejahtera. 

Politik Langitan adalah upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan masyarakat makmur dan sejahtera melalui serangkaian kegiatan atau  tindakan yang terencana, terstruktur, sistematis, dan massif dengan berlandaskan pada nilai-nilai luhur, moral, dan etika. 

Konsep dan paradigma ini sejalan dengan gagasan para pendiri bangsa dan negara, yang menekankan pentingnya nilai-nilai luhur dan moral dalam kegiatan atau tindakan politik, sebagaimana diamanatkan oleh Proklamasi 17 Agustus 1945, Pancasila, UUD’1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam konteks definisi ini, “Politik Langitan” dapat dipahami sebagai sebuah paradigma politik yang berfokus pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan, serta memprioritaskan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum berupa masyarakat makmur dan sejahtera.

Berita Lainnya:
Polisi Tangkap Bos Terra Drone Michael Wishnu Wardana

Paradigma ini berbeda dengan politik pragmatis yang mengabaikan nilai-nilai luhur, moral, dan etika, serta hanya berfokus pada kekuasaan dan kepentingan pribadi, kelompok, atau golongan. Politik pragmatis yang mengutamakan kepentingan jangka pendek, seringkali mengorbankan prinsip nilai-nilai luhur, moral, dan etika demi mencapai tujuan politik. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan sosial, ketidakadilan, dan kehilangan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik.

Dalam politik pragmatis, kekuasaan dan kepentingan menjadi tujuan utama, sedangkan nilai-nilai luhur, moral, dan etika menjadi tidak relevan. Paradigma ini juga dapat memicu konflik politik dan kompetisi yang tidak sehat antara kelompok-kelompok politik, karena masing-masing berusaha untuk mencapai kekuasaan dan kepentingan sendiri.

Sebaliknya, “Politik Langitan” menekankan pentingnya nilai-nilai luhur, moral, dan etika  dalam politik, serta memprioritaskan kebaikan umum berupa kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Paradigma ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, serta mempromosikan persamaan dan kesetaraan.

“Politik Langitan” memiliki beberapa karakteristik utama, empat di antaranya yang paling pokok, yaitu: (1) Berorientasi pada kebaikan umum dan kesejahteraan masyarakat; (2) Berlandaskan pada nilai-nilai luhur, moral, dan etika; (3) Berfokus pada tujuan jangka panjang dan berkelanjutan; (4) Memprioritaskan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik

Dalam upaya mewujudkan “Politik Langitan”, perlu dilakukan beberapa langkah yang terstruktur, sistematis dan masif, empat diantaranya paling pokok, yaitu:

(1)    Mengoreksi definisi kotor politik yang mencakup manipulasi, penipuan, eksploitasi, kebohongan, kemunafikan, dan ketegaan menjadi definisi sejati politik: “Politik Langitan” yang mencakup segala upaya untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum sesuai prinsip nilai-nilai luhur, moral, dan etika.

(2)    Meningkatkan sosialiasi politik (political socialization) berupa transfer dan transpormasi nilai-nilai politik kepada masyarakat terutama generasi muda sebagai pelanjut, seperti nilai kejujuran, keadilan, persamaan, kesetaraan, solidaritas, dan partisipasi. 

(3)    Membangun budaya politik partisipan (participant political culture) berupa pola orientasi politik yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, moral, dan etika.

(4)    Membangun partisipasi politik otonom (otonomus political participation) yang bermakna dalam proses politik terutama pengambilan keputusan politik dan kebijakan politik.

Implementasi “Politik Langitan” yang menghadapi beberapa tantangan serius, seperti kurangnya sosialiasi politik, rendahnya budaya politik partisipan, dan rendahnya partispasi politik otonom, dapat diatasi dengan memperkuat lima lingkup politik sebagai kerangka kerja, yaitu:  

(1)    Norma Religius (Teologi Politik): Tentang relasi politik dengan agama, yang dipandang sebagai cara untuk mewujudkan kehendak Tuhan atau nilai-nilai religius, seperti mentaati perintah dan larangan sakral. 

(2)    Norma Moral (Filsafat Politik): Tentang prinsip-prinsip moral  universal yang menjadi dasar politik dalam mewujudkan kebaikan umum, seperti penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan. 

(3)    Nalar Ilmiah (Pemikiran Politik): Tentang metode dan analisis ilmiah tentang politik, seperti sistem politik, institusi politik, dan perilaku politik. 

(4)    Nalar Etis (Ideologi Politik): Tentang ideologi politik yang menjadi dasar bagi keputusan politik dan kebijakan politik. 

(5)    Publik Etis (Opini Politik): Tentang opini politik mengenai sikap dan pendapat masyarakat terhadap isu-isu publik, seperti kebijakan lingkungan hidup. 

Menutup artikel ini, perlu saya tegaskan kembali bahwa praktik politik yang dipertontonkan oleh aktor politik dan seringkali dicemooh dan dicerca, bukanlah politik yang sebenarnya, melainkan politik yang manipulatif dan eksploitatif. Praktik politik ini belum menyentuh gagasan ideal dari politik yang menekankan pada upaya untuk mewujudkan kebaikan umum berdasarkan kehendak umum.

Hal ini terjadi karena kurangnya keberanian untuk mengoreksi definisi kotor politik yang mencakup manipulasi, penipuan, eksploitasi, kebohongan, kemunafikan, dan ketegaan. Oleh karena itu, masyarakat kehilangan kepercayaan pada politik dan politisi. 

Namun, di atas politik tentu masih ada politik yang lebih tinggi, yaitu politik  tentang masyarakat, bukan tentang diri sendiri; politik tentang kebaikan umum, bukan tentang kepentingan pribadi; politik tentang kebenaran, bukan tentang kekuasaan; politik tentang melayani, bukan tentang dilayani; Saya menyebut ini sebagai “Politik Langitan”. 

Dengan demikian, “Politik Langitan” dapat menjadi sebuah konsep dan paradigma yang relevan dan efektif dalam mewujudkan kepentingan umum, kebaikan umum, dan kehendak umum. “Politik Langitan” menawarkan sebuah visi politik yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu politik kebaikan, kebenaran, dan keuntungan bersama. “Politik Langitan” bukanlah impian yang mustahil, tapi pilihan logis dan realistis. 

(Penulis adalah Dosen Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia (SPPB UI)

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.