BANDA ACEH – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu menyoroti kembalinya otoritarianisme yang ditandai dengan maraknya penangkapan aktivis dan masyarakat sipil secara sewenang-wenang. Menurut dia, situasi sekarang ini merupakan warisan pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Sejak zaman Presiden Jokowi telah terjadi pelemahan masyarakat sipil dengan meningkatnya represi terhadap aktivis. “Mereplikasi era Soeharto,” kata Busyro dalam forum refleksi akhir Tahun 2025 yang digelar Pusat Studi Hak Asasi Manusia bersama Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Islam Indonesia di Gedung Yayasan Badan Wakaf UII di Jalan Cik Di Tiro Yogyakarta, Selasa, 30 Desember 2025.
Menurut Busyro, pelemahan terhadap masyarakat sipil hampir terjadi di semua lini. Dia menyindir kampus yang tidak banyak bersuara tentang Proyek Strategis Nasional yang merugikan masyarakat sipil, misalnya, proyek food estate, Rempang Eco City, dan sejumlah proyek strategis lain yang dihapus dari PSN belum lama ini, seperti Pantai Indah Kapuk dan penambangan batuan andesit di Wadas.
Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menyindir akademisi kampus yang tak berani bersuara. Busyro mengibaratkan mereka sedang minum pil tidur dan terlena. Sikap diam akademisi, kata Busyro, berbahaya karena sama halnya dengan membiarkan kejahatan dan tidak bertanggung jawab.
Selain itu, dia mengkritik pelemahan berbagai lembaga negara. Menurut dia, sumber malapetaka pelemahan itu adalah Undang-Undang Partai Politik yang muncul sejak pemerintahan Jokowi. Contohnya, lemahnya kaderisasi hingga praktik dinasti politik yang ditandai dengan Gibran Rakabuming menjadi wakil presiden.
Busyro menyebut Indonesia kehilangan arah kepemimpinan. “Indonesia bukan hanya krisis kepemimpinan, tapi tidak ada kepemimpinan,” ujar Busyro.
Dia juga menyingung peran lebih TNI dalam sejumlah proyek strategis seperti makan bergizi gratis, food estate, dan penanganan bencana di Aceh. Sejumlah akademisi UII dalam forum itu menyoroti menguatnya militerisasi program pemerintahan Prabowo-Gibran.
Pusat Studi Hak Asasi Manusia dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII menyatakan sikap kritisnya terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran yang meniru Rezim Orde Baru.
Kedua, pusat studi UII itu mendesak pemerintah menghentikan segala bentuk militerisasi berbagai program prioritas pemerintah, menghentikan penunjukan TNI dan Polri aktif menduduki jabatan sipil. TNI dan Polri harus dikembalikan pada fungsi awalnya sebagai pengawal pertahanan dan keamanan negara. Adapun jabatan sipil tetap tunduk pada paradigma meritokrasi.
Kepala Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII Eko Riyadi mengatakan peran militer menguat dalam seluruh aktivitas pemerintahan, dari yang remeh temeh hingga jabatan penting kenegaraan. Contohnya tentara ikut mengelola pangan hingga menduduki jabatan sipil. Penguatan peran militer ini menurut Eko menunjukkan Presiden Prabowo menganggap militer lebih kompeten ketimbang sipil.
Eko mencontohkan, pemerintahan Prabowo-Gibran banyak menempatkan personel TNI dan Polri melalui cara-cara militeristik ketika menjalankan sejumlah program strategis seperti MBG, lumbung pangan, dan Koperasi Merah Putih. Dalam struktur Badan Gizi Nasional tercatat ada lima purnawirawan TNI, satu purnawirawan Polri. Militer mendominasi program MBG dengan pola terpusat.
Di program lain seperti lumbung pangan, pemerintah melibatkan Kementerian Pertahanan dan pembentukan batalyon teritorial pembangunan untuk mendukung program swasembada pangan dan energi. Dukungan militer dalam pembangunan Koperasi Merah Putih dianggap sebagai operasi militer selain perang.
Menurut Eko, pelibatan militer dalam sejumlah pelaksanaan program strategus nasional berdampak terhadap melemahnya supremasi sipil dalam negara demokratis. Selain itu, kewenangan pemerintah daerah hilang dalam mengelola program berdasarkan konteks lokal. “Bila terjadi konflik dan penyelewengan program, maka masyarakat langsung berhadapan dengan militer,” kata Eko.
Kepala Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII Masduki menyatakan tidak ada negara dengan anasir militer yang berhasil membawa masyarakat berubah dari otoritariansisme menuju tatanan yang demokratis. Dia mencontohkan Thailand dan Myanmar yang dikuasai junta militer.
Di Indonesia, otoritarianisme yang pernah terjadi pada masa Orde Baru kembali hidup. Sebagian orang, menurut dia, malah bernostalgia dengan Orba melalui berbagai slogan, misalnya, piye kabare? Iseh penak zamanku to?
Slogan yang membangkitkan memori itu punya arti zaman Soeharto lebih baik dan paling berhasil memimpin Indonesia. Kondisi itu menunjukkan justifikasi terhadap otoritarianisme yang anti-demokrasi. “Demokrasi dan reformasi telah berhenti,” kata Masduki.
Penggagas Forum Cik Di Tiro, gerakan masyarakat sipil yang menentang militerisme ini menyebutkan demokrasi di Indonesia hanya menekankan pada prosedur, bukan substansi.
Hasilnya, pemerintahan menjalankan praktek otokratik legalisme yakni pemerintahan dengan pemimpin otoriter yang menggunakan prosedur hukum seperti undang-undang dan berbagai produk hukum lainnya untuk memperkuat kekuasaan, mengendalikan masyarakat, dan melemahkan fungsi kontrol dalam negara yang demokratis.






























































































