Bencana Sumatera
BANDA ACEH – Pernyataan mengejutkan muncul dalam rapat koordinasi nasional penanganan bencana ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak.
Ia mengungkapkan bahwa pembangunan sejumlah jembatan darurat di Aceh dilakukan dengan cara berutang.
Yang membuat suasana rapat semakin riuh adalah jawaban spontan Maruli ketika Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanyakan soal jaminan utang tersebut “Jaminannya tentara.”
Pernyataan itu langsung membuat Purbaya terkejut.
Ia mengaku baru mengetahui bahwa pengerjaan jembatan bailey dan jembatan darurat lain di Aceh ternyata dibiayai dengan skema utang internal TNI AD.
Selama ini, pemerintah memahami bahwa pendanaan proyek pemulihan pascabencana.
Terutama jalur darurat yang menghubungkan wilayah Aceh bagian tengah dan utara, berjalan melalui skema resmi BNPB.
Namun kenyataannya di lapangan berbeda. TNI AD bergerak cepat dan tak menunggu turunnya anggaran.
Jenderal Maruli menjelaskan bahwa berbagai pengerjaan konstruksi dilakukan segera setelah akses vital terputus akibat bencana.
Puluhan titik jalan utama lumpuh, distribusi logistik tersendat, dan masyarakat di beberapa kecamatan terisolasi.
“Sampai dengan saat ini kami belum mengerti sistem keuangannya, Pak.”
“Kita swadaya semua ini, Pak. Ya, sementara mungkin sampai pertengahan bulan depan kita masih kuat, Pak. Setelah itu ya sudah korek-korek, Pak,”
ungkap Maruli dikutip pojoksatu.id dari okezone 30/12/2025.
Pernyataan tersebut memantik diskusi serius tentang sinkronisasi antara kecepatan penanganan darurat dan mekanisme pendanaan negara.
TNI, yang bergerak cepat di lapangan, berhadapan dengan sistem birokrasi yang masih menuntut verifikasi, dokumen, dan prosedur resmi sebelum dana cair.
Kondisi itu membuat pembangunan jembatan dilakukan dengan metode “tancap gas”, sementara persoalan anggaran dibicarakan belakangan.
Di Aceh, TNI AD membangun puluhan jembatan bailey, jembatan armco, serta jembatan gantung sebagai akses sementara.
Pekerjaan dilakukan 24 jam nonstop, memakai pola tiga shift demi mempercepat pemulihan.
Akses yang sebelumnya putus berubah menjadi dapat dilalui kendaraan logistik dalam hitungan hari.
Tetapi upaya itu menghadirkan beban lain biaya besar yang tak tertutupi oleh anggaran darurat yang seharusnya mengalir otomatis.
Dalam laporan internal, sejumlah pembangunan jembatan bahkan dikerjakan dengan material yang diperoleh dulu lewat pinjaman dari berbagai penyedia.
Purbaya mengakui adanya komunikasi yang belum sinkron.
Ia menyebut perlu duduk bersama agar pembiayaan darurat bisa langsung mengalir tanpa menghambat kecepatan instansi seperti TNI yang berada di garis depan.
Pengakuan Jenderal Maruli juga membuka fakta lain di lapangan, beberapa jembatan bailey sempat mengalami gangguan, termasuk dugaan sabotase berupa baut yang dicopot oleh pihak tidak dikenal.
Kondisi itu menambah tekanan bagi TNI AD yang sudah bekerja di tengah keterbatasan dana dan medan sulit.
Meski begitu, TNI AD tetap melanjutkan pembangunan karena situasi Aceh menuntut percepatan.
Ribuan warga bergantung pada akses yang terputus, dan jalur bantuan tak boleh berhenti.
Pembuatan jembatan darurat adalah langkah strategis agar stabilisasi pascabencana bisa berlangsung cepat.
Pernyataan “jaminannya tentara” mungkin disampaikan dengan nada bercanda, tetapi fakta bahwa TNI harus menalangi biaya pembangunan tetap menjadi sorotan besar.
Isu tersebut kini mendorong perbaikan tata kelola anggaran bencana agar lebih responsif, lebih fleksibel, dan tak menghambat gerak cepat di lapangan.
Namun cerita di baliknya tentang utang, ketegangan birokrasi, dan dedikasi prajurit menjadi bab baru yang memantik perhatian publik.***




























































































