UPDATE

LINGKUNGAN
LINGKUNGAN

Kembalikan Hutan Aceh Kepada Rakyat Aceh

BANDA ACEH – Banjir yang kembali melanda Aceh dan sejumlah wilayah di Sumatera 26-27 November 2025 bukanlah peristiwa alam yang datang tanpa sebab. Ia bukan semata akibat hujan ekstrem atau anomali cuaca global, melainkan akumulasi panjang dari kerusakan hutan yang terus dibiarkan.

Air hujan hanya menjalankan kodratnya, sementara manusialah—melalui kebijakan dan pembiaran—yang telah merusak sistem alam yang selama ini menahannya.

Data menunjukkan, dalam kurun waktu 2016–2024, wilayah Sumatera—terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—telah kehilangan sekitar 1,4 juta hektare tutupan hutan akibat alih fungsi lahan, pertambangan, perkebunan skala besar, dan pembukaan kawasan hutan untuk kepentingan industri (Indonesia Business Post, 2024).

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan gambaran telanjang tentang hilangnya benteng ekologis yang melindungi jutaan penduduk Sumatera dari bencana hidrometeorologi.

Di Aceh sendiri, laju deforestasi masih berlangsung secara nyata. Sepanjang tahun 2023, Aceh kehilangan sekitar 8.906 hektare hutan, sebagian berada di kawasan penting yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan penyangga ekosistem (Hutan Alam dan Lingkungan Aceh/HAkA, 2024).

Bahkan dalam rentang 2002–2024, Aceh telah kehilangan lebih dari 320.000 hektare hutan primer basah, termasuk di kawasan strategis Ekosistem Leuser (Global Forest Watch; Republika, 2024).

Berita Lainnya:
Bawa Genset dan Logistik, Gubernur Aceh Terbang ke Beutong Ateuh Banggalang Nagan Raya

Hilangnya hutan dalam skala sebesar ini tidak bisa dipisahkan dari meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir. Hutan berfungsi menyerap air hujan, menahan erosi, dan mengatur aliran sungai. Ketika tutupan hutan menyusut, air hujan langsung mengalir deras ke hilir tanpa penyangga. Sungai meluap, tanggul jebol, dan permukiman warga menjadi korban.

Ironisnya, kerusakan tersebut tidak terjadi secara liar semata, melainkan sering kali dilegitimasi oleh kebijakan. Izin usaha diterbitkan, kawasan hutan dialihfungsikan, dan daerah aliran sungai (DAS) diperlakukan sebagai ruang ekonomi, bukan ruang lindung. Di banyak wilayah Sumatera, tutupan hutan di DAS utama kini tersisa di bawah 25 persen, jauh dari batas aman ekologis (Asia Sentinel, 2024).

Di titik inilah kritik harus diarahkan secara jujur: negara gagal menempatkan keselamatan rakyat sebagai prioritas utama dalam pengelolaan hutan. Pemerintah pusat kerap berlindung di balik narasi pembangunan nasional dan investasi strategis, sementara pemerintah daerah bersembunyi di balik keterbatasan kewenangan. Akibatnya, tidak ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab ketika bencana terjadi.

Setiap banjir besar selalu direspons dengan pola yang sama: status darurat, bantuan logistik, kunjungan pejabat, lalu lupa. Hampir tidak pernah ada evaluasi serius terhadap izin-izin di kawasan hulu sungai, tidak ada pencabutan konsesi yang merusak, dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan masih lemah dan tebang pilih.

Berita Lainnya:
Jalur Aceh Tamiang–Sumut Kembali Normal, Truk Besar Sudah Bisa Melintas

Narasi “bencana alam” terus diulang, seolah banjir adalah takdir yang tidak bisa dihindari. Padahal, yang membuat hujan berubah menjadi bencana adalah kebijakan yang mengabaikan daya dukung lingkungan. Perubahan iklim memang meningkatkan curah hujan, tetapi tanpa deforestasi masif, dampaknya tidak akan sedestruktif yang kita saksikan hari ini.

Banjir Aceh dan Sumatera seharusnya menjadi momentum koreksi kebijakan. Pemerintah perlu berani melakukan moratorium dan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin di kawasan hutan dan DAS, mencabut konsesi yang terbukti merusak, serta menjalankan rehabilitasi hutan secara serius dan terukur—bukan sekadar proyek simbolik untuk laporan tahunan.

Masyarakat tidak menuntut keajaiban. Yang mereka tuntut adalah keadilan ekologis: hak untuk hidup aman di tanahnya sendiri tanpa terus-menerus dihantui banjir yang sebetulnya bisa dicegah. Selama hutan terus dikorbankan atas nama pembangunan, banjir akan tetap menjadi harga yang harus dibayar rakyat.

Kembalikan hutan kami. Kembalikan pada tempat asalnya, kepada rakyat Aceh sebagai pemilik hutan. Sebab setiap hektare hutan yang hilang hari ini, adalah banjir yang sedang menunggu waktunya. []

Subscribe
Notify of
guest
0 Komentar
Inline Feedbacks
View all comments

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.