UPDATE

EKONOMI

Wakaf: Dari Jejak Sejarah Menuju Pilar Peradaban Ekonomi Modern

BANDA ACEH – Dalam peta ekonomi Islam, wakaf seringkali hanya dipandang sebagai amal sosial untuk membangun masjid atau makam. Padahal, jika kita menengok sejarah, wakaf adalah raksasa tidur (the sleeping giant) yang pernah menjadi pilar peradaban. Jejaknya membentang dari Universitas Al-Qarawiyyin di Maroko (859 M) hingga Harvard dan Oxford yang berdiri megah berkat dana abadi (endowment fund) yang prinsipnya serupa dengan wakaf.

Di Nusantara, hampir semua pusat pendidikan dan peradaban Islam awal berdiri di atas tanah wakaf. Ini membuktikan bahwa wakaf bukan sekadar amal, melainkan instrumen strategis untuk membangun peradaban yang berkelanjutan.

Lantas, apa sebenarnya wakaf? Secara sederhana, wakaf adalah perbuatan hukum untuk memisahkan dan menyerahkan harta benda untuk dimanfaatkan selamanya guna kepentingan ibadah atau kesejahteraan umum.

Kekuatannya terletak pada dua jaminan: teologis dan yuridis. Secara teologis, wakaf adalah “sedekah jariyah” yang pahalanya terus mengalir meskipun sang pemberi telah tiada.

Secara yuridis, UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf melindungi aset wakaf dari jual-beli, hibah, atau waris, menjamin keabadiannya. Inilah yang membedakannya dari zakat, infak, dan sedekah. Jika zakat dan sedekah habis dikonsumsi, wakaf justru “menahan pokok” hartanya dan memberdayakan hasilnya.

Berita Lainnya:
Hakim MK Arief Hidayat: Bayi Indonesia Lahir Menanggung Utang, Bayi Norwegia Punya Tabungan

Paradigma wakaf kini telah bertransformasi. Tidak lagi terpaku pada tanah dan masjid, objek wakaf telah meluas mencakup uang (cash waqf), saham, hak kekayaan intelektual, hingga properti komersial. Inilah yang membuka pintu bagi pengelolaan wakaf secara produktif. Dana wakaf uang, misalnya, tidak langsung dibagikan, melainkan diinvestasikan dalam sektor riil atau keuangan syariah. Hasil keuntungan investasi inilah yang kemudian disalurkan untuk beasiswa, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi umat, dan berbagai program kesejahteraan lainnya. Dengan demikian, wakaf menciptakan siklus ekonomi yang berkelanjutan.

Peran sentral dalam menggerakkan siklus ini ada di pundak Nazhir, yaitu pihak yang ditugasi mengelola aset wakaf. Nazhir tidak lagi sekadar “penjaga makam”, tetapi harus menjadi manajer yang profesional, amanah, dan inovatif. Mereka dituntut untuk memiliki kompetensi dalam pengelolaan keuangan, bisnis, dan investasi syariah.

Untuk memastikan profesionalitas, Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai regulator memberikan pembinaan dan sertifikasi. Nazhir juga berhak mendapat imbalan maksimal 10% dari hasil bersih pengelolaan, sebagai bentuk apresiasi atas kinerja profesional mereka.

Berita Lainnya:
Waspada Modus Penipuan CoreTax, Bank Aceh Imbau Nasabah Tidak Sembarang Klik File APK

Peluang pengembangan wakaf di era modern semakin luas. Kini, kita mengenal skema-skema inovatif seperti Corporate Waqf (perusahaan yang diwakafkan), Wakaf Linked Sukuk, hingga platform digital crowdfunding wakaf seperti SatuWakaf. Skema-skema ini memudahkan masyarakat untuk berwakaf mulai dari nominal kecil, mengubah wakaf dari gaya hidup para sahabat Nabi menjadi gerakan massal masyarakat digital.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita memandang wakaf dengan kacamata yang baru. Wakaf adalah solusi strategis dan berkelanjutan untuk membiayai pembangunan di berbagai sektor—pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi—tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Membangun wakaf produktif berarti membangun pilar ekonomi umat yang mandiri dan abadi. Maka, mari kita tinggalkan paradigma lama bahwa wakaf itu statis. Saatnya kita bersama-sama membangunkan sang “raksasa tidur” ini dan menjadikan Gerakan Indonesia Berwakaf sebagai jalan menuju kemandirian dan kedaulatan ekonomi bangsa yang berkeadilan.

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.