BANDA ACEH – Lumpur banjir masih menutup banyak halaman rumah di Kabupaten Pidie Jaya. Dari permukaan, endapan itu tampak mengeras. Namun ketika dipijak, tanah kerap berubah menjadi jebakan lembek yang menahan kaki. Di tengah kondisi itu, relawan dari Karst Aceh bersama mahasiswa UKM PA Leuser USK tetap bergerak membersihkan sumur-sumur warga agar air bersih kembali mengalir.
Sejak 12 Desember, tim relawan menyisir tujuh desa di dua kecamatan. Fokus mereka satu: memulihkan sumber air warga pascabanjir. Hingga kini, sebanyak 182 sumur berhasil dibersihkan dan kembali dapat digunakan. Hampir seluruhnya berada dalam kondisi berat-dipenuhi lumpur, bercampur ranting, dahan, serta material organik yang menuntut proses pembersihan ekstra hati-hati.
Di lapangan, lumpur bukan sekadar sisa bencana. Dari atas terlihat padat, tetapi ketika diinjak, kaki bisa terperosok ke endapan lembek. Sepatu kerap tertinggal, telapak kaki harus ditarik dengan tenaga ekstra. Dari beberapa sumur, bau menyengat muncul bersama buih dan gelembung kecil-pertanda endapan belum stabil dan tanah masih “hidup”.
Pekerjaan pembersihan tidak selalu bisa mengandalkan mesin. Pompa air membantu, tetapi di banyak titik relawan harus turun langsung ke dalam sumur, mengandalkan tangan, insting, dan kewaspadaan. Salah membaca kondisi tanah, dinding sumur bisa runtuh. Dalam situasi ini, warga setempat menjadi penentu keselamatan. Mereka mengenal kontur tanah dan usia sumur, menunjukkan lokasi aman, memberi peringatan, hingga membantu membuka akses yang licin.
Di luar kerja teknis, dukungan warga justru menjadi sumber kekuatan. Di tengah rumah yang rusak dan kebutuhan yang belum terpenuhi, mereka tetap menemani relawan, ikut membantu, bahkan menyuguhkan kopi, makanan ringan, dan hasil dapur seadanya. Beberapa warga menawarkan bantuan materi, meski hidup mereka sendiri sedang serba terbatas.
Ketua Karst Aceh, Abdillah, menyebut sikap masyarakat sebagai kekuatan utama di lapangan. “Kami bekerja di tengah lumpur dan risiko, tapi yang membuat kami bertahan adalah sikap warga. Di saat rumah mereka sendiri rusak parah, mereka masih menyambut kami dengan perhatian dan kehangatan. Ini kekuatan sosial yang luar biasa,” kata Abdillah dari lokasi kegiatan.
Selain membersihkan sumur, tim relawan turut menyalurkan bantuan logistik untuk meringankan beban warga. Bantuan tersebut meliputi beras, paket mandi, pakaian layak pakai, perlengkapan ibadah, serta kebutuhan dasar lainnya. Bantuan itu diharapkan menjadi penopang awal di masa pemulihan, meski tidak menggantikan kehilangan yang dialami warga.
Bagi Karst Aceh, capaian 182 sumur bukan sekadar angka. Setiap sumur yang kembali jernih berarti satu keluarga dapat memasak, berwudhu, membersihkan rumah, dan melanjutkan hidup dengan lebih bermartabat. Air bersih menjadi titik awal pemulihan.
Pengalaman di Pidie Jaya menegaskan bahwa penanganan bencana di Aceh tidak cukup hanya mengandalkan alat dan teknologi. Ia menuntut kerja bersama, rasa hormat, serta kesadaran bahwa masyarakat terdampak bukan objek bantuan, melainkan mitra kemanusiaan. Air kini mulai mengalir kembali di banyak sumur. Lumpur mungkin masih tersisa di halaman, tetapi harapan-pelan namun pasti-telah menemukan jalannya. []






























































































