“Ketika 1935 Ataturk mengubah sistem kalender Hijriyah menjadi Masehi, jauh pada zaman Sultan Agung tahun 1633 telah mengembangkan kalender Jawa dengan memadukan tarikh Hijriyah dengan tarikh Saka. Masa itu sering disebut sebagai awal Renaisans Jawa,” kata Sultan.
Maka bercermin dari kisah itu, tak usah heran kalau pada hari-hari sekarang ini ada suana elit kekuasaan yang sedang saling berebut soal klaim kesalehan, sholat, hingga penggunaan legitimasi masjid. Lebih dari 600 tahun silam perilaku seperti itu sudah terjadi di Jawa yang sampai hari ini masih menjadi wilayah pusat kekuasaan.
Alhasil, tak usahlah ‘kagetan’, ‘gumunan (kagum), dumeh (sok punya) apalagi sampai ‘ngamukan’ (membuat ribut dengan mengamuk). Di sini tampak jelas kisah peradaban manusia Indonesia sebenarnya hanya berkutat yang ‘itu-itu’ saja. Persis lagu lama yang terus ‘diputar ulang’ (deja vu, istilah Prancis). Mudah-mudahan bangsa ini tidak seperti sapi atau kerbau yang suka memamah biak..!
**). Penulis adalah Jurnalis Republika
Sumber: Republika