GARA-GARANYA Anies menang di Pilgub DKI. Inilah akar masalah kenapa Anies dituduh intoleran. Seandainya yang menang itu Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY, maka AHY yang akan dituduh intoleran.
Intinya, siapa pun lawan Ahok yang menang di Pilgub DKI 2017 akan dituduh intoleran dan telah menggunakan politik identitas. Sekali lagi, siapa pun!
Kebetulan saja Anies yang menang, maka Anieslah yang jadi sasaran tuduhan intoleran dan menggunakan politik identitas itu.
Ahok adalah Gubernur DKI yang kontroversial. Banyak warga Jakarta yang tidak suka Ahok. Banyak faktor dan alasannya. Ahok dianggap temparemen. Emosinya tidak terkontrol dan bahkan sering keluar kata kotor dan caci maki. Masyarakat Indonesia secara umum, enggak suka pemimpin yang arogan. Dan Ahok dianggap arogan.
Ada yang gak pilih Ahok karena alasan agama. Terutama ketika kasus Al-Maidah terjadi di bulan Sepetember 2016. Kasus ini dianggap melukai umat Islam yang notabene menjadi pemilih mayoritas di DKI.
Saat itu, muncul tiga calon yaitu Ahok, Anies, dan AHY. Singkat cerita, Anies lah yang menang. Seandainya Ahok yang menang, kita bisa bayangkan kegaduhan yang akan terjadi pasca Pilgub DKI. Boleh jadi akan semakin masif.
Demonstrasi massa yang begitu besar dari berbagai wilayah Indonesia tidak akan berhenti. Seandainya pun AHY yang menang, putra SBY ini pun akan mengalami hal yang sama. Akan dituduh intoleran. Islam kanan dan semi radikal.
Kalau kita bedah pemilihnya, ini berdasarkan hasil survei, non muslim hampir semua pilih Ahok. Pemilih muslim terbelah ke tiga paslon. Sebagian ke Ahok, sebagian ke Anies dan sebagian lainnya ke AHY. Dimana nalar politik identitasnya?
Bicara politik di masjid mendapat kritik keras. Gak jarang sering dihentikan dan penceramahnya ditegur. Sementara di sejumlah tempat ibadah lain, banyak orang bicara tentang politik praktis. Tentu tidak fair dan jauh dari nalar sehat jika masjid yang dituduh sebagai sarana membangun politik identitas. Ini yang mesti diluruskan.
Clear, bahwa polarisasi politik di DKI terjadi karena kasus Al-Maidah. Bukan diciptakan oleh paslon. Ini yang harus dicatat. Maka, siapapun yang ikut nyalon di pilgub DKI saat itu, enggak bisa keluar dari polarisasi ini.
Polarisasi politik marak kembali di Pilpres 2019. Pertarungan Jokowi vs Prabowo membuat polarisasi politik lahir dan tumbuh kembali. Setelah Pilpres, polarisasi pun gak berhenti. Kerena Prabowo bergabung ke kabinet koalisi, maka polarisasi diarahkan ke Anies. Lagi-lagi, Anies menjadi sasaran untuk kedua kalinya.
Tuduhan menggunakan politik identitas sebenarnya semakin massif setelah “Pulau Reklamasi” disegel. Tiga belas pulau dihentikan untuk dibangun. Empat pulau yang terlanjur ada, 65 persennya diambil oleh Pemprov DKI.
Inilah yang kabarnya membuat Suko Sudarso, tokoh berpengaruh di GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia) mengapresiasi keberanian Anies. Suko mengatakan bahwa Anies adalah seorang nasionalis sejati.
Sulit mencari seorang gubernur yang berani menutup proyek mercusuar yang menabrak banyak aturan negara tersebut.
Saat ini, ada dua tokoh yang muncul yaitu Anies dan Ganjar. Kalau keduanya nyalon di 2024, saya memilih Anies, tegasnya. “Kenapa pilih Anies?” tanya sejumlah tokoh GMNI.
“Dia nasionalis sejati,” jawab Suko Sudarso dengan tegas. Padahal, Suko Sudarso adalah tokoh satu organisasi dengan Ganjar Pranowo, sama-sama dulu aktivis GMNI.
Anda bisa bayangkan jika anda menjadi pengembang, mimpi dan rencana anda membangun 17 “Pulau Reklamasi” gagal. Di masa Gubernur sebelumnya, semula semuanya berjalan lancar, meskipun menabrak banyak aturan.
Lalu Anies jadi Gubernur DKI, 13 pulau distop dan 4 pulau diambil 65 persennya oleh Pemprov DKI. Ini bukan kesewenang-wenangan. Ini semata-mata menegakkan aturan.
Proyek “Pulau Reklamasi” bukan hanya kepentingan pengembang. Proyek sebesar itu tidak akan mampu dikerjakan hanya oleh pengembang tanpa berkolaborasi dengan pihak-pihak yang kuat dan memiliki akses kekuasaan. Di situ ada sejumlah partai dan pejabat yang diduga terlibat.