Presiden Jokowi menggelar silaturahim politik bersama Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketua Umum PPP Mardiono.
JAKARTA — Partai politik masih sibuk melakukan konsolidasi politik untuk menguatkan bangunan koalisi Pilpres 2024. Para ketua umum partai masih saling tunggu melihat dinamika koalisi Pilpres 2024.
Dinamisnya bangunan koalisi partai untuk Pilpres 2024 akibat terpengaruh dari sejumlah variabel politik. Termasuk, salah satunya efek Jokowi yang secara langsung atau tidak langsung terhadap dinamika partai dalam menentukan langkah koalisi partai.
“Jokowi menentukan karena efek dari basis pendukung. Jokowi memiliki pengaruh separuh pemilih di Indonesia 2014, 2019. Praktis Jokowi memiliki basis pemilih mayoritas,” kata peneliti politik Poltracking Indonesia, Arya Budi kepada wartawan di Jakarta, Rabu (4/7/2023).
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada 2014 pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla meraih suara sebesar 53,15 persen, mengalahkan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan suara 46,85 persen. Sementara, pada 2019 Jokowi-Ma’ruf memperoleh 55,50 persen, dan pasangan Prabowo-Sandiaga Salahuddin Uno memperoleh 44,50 persen.
Dia menilai, Jokowi memiliki pengaruh sosial yang berdampak pada elektoral partai pada koalisi. Selain itu, massa militan pendukung Jokowi berpotensi memberikan insentif elektoral bagi kandidat sehingga menjadi magnet partai untuk berkoalisi Pilpres 2024.
“Ketika Jokowi dianggap dekat atau Jokowi dianggap mendukung meskipun secara gesture, tidak verbal maka kandidat ini akan mendapat limpahan pemilih Jokowi, elektabilitasnya naik kemudian partai mendekat. Ini efek tidak langsung Jokowi,” jelas Arya.
Kemudian, pengaruh Jokowi terhadap penentuan koalisi berpengaruh kuat lantaran sebagai presiden yang masih menjabat. Jokowi hingga kini, memiliki pengaruh kuat terhadap penentuan koalisi terhadap partai yang masih bergabung di pemerintahan.
“Kedua, efek Jokowi terhadap koalisi dia adalah the sitting president dengan plakat negara yang bahkan partai tidak memilikinya. Dia komando tertinggi, dia punya akses informasi-informasi negara di banyak bidang di ekonomi dan seterusnya. Hal ini yang secara langsung bagi partai-partai yang sekarang ada di pemerintahan,” ujar Arya.
Sumber: Republika