JAKARTA — Menabung di bank telah menjadi salah satu gaya hidup masyarakat modern. Guna meningkatkan kesejahteraannya, sebagian besar masyarakat telah memiliki kebiasaan untuk menabung di bank. Tabungan merupakan simpanan dana yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati.
Anjuran Menabung dan mengatur keuangan dalam Islam
Kepada Republika, Yulizar D. Sanrego, Dewan Pengawas Syariah (DPS) Jago Syariah menjelaskan, mayoritas ulama menyampaikan dalam Islam hukum menabung adalah jawaz atau boleh. Bahkan, hukum menabung termasuk dalam sunnah karena Rasulullah SAW menyampaikan sabdanya yang terkait dengan anjuran tersebut.
Dalam sebuah hadits riwayat Muslim dan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Allah akan memberi rahmat bagi hambanya yang mencari rizki yang halal dan menyedekahkan dengan kesengajaan, mendahulukan kebutuhan yang lebih penting, pada hari di mana ia dalam keadaan fakir dan memiliki hajat.”
“Berdasarkan hadis tersebut Prof Dr Husein Syahatah dalam bukunya Iqtishad al-Bait al-Muslim membuat persamaan menabung, yaitu menabung (al-iddikhar) = pendapatan halal (al-kasb al-thayyib) – pengeluaran primer (al-infaq al-muqtashad) dengan mempertimbangan pengeluaran prioritas berdasarkan syariah (awlawiyyat al-islamiyyah),” ujar Yulizar. Hadis ini juga mengandung makna bahwa menabung bukan hanya boleh, tapi juga merupakan suatu amalan yang disukai Allah SWT dengan ganjaran rahmat dari-Nya.
Anjuran menabung juga dilegitimasi (masyru’iyyah) di dalam Al Quran, seperti dalam QS Yusuf : 47-49 terkait jawaban atas ta’bir mimpi raja yang dita’wil oleh Nabi Yusuf as. Anjuran menabung khususnya tergambar dalam ayat 47, sebagaimana ditafsirkan oleh beberapa mufassir “illa qalilan mimma ta’kulun” dalam Tafsir Al-sa’adi mengandung makna agar melakukan konsumsi tidak berlebihan dan memperbanyak menabung (liyaktsura ma taddakhirun) agar bisa menghasilkan manfaat dan dampak yang lebih luas.
Bahkan dalam pembahasan tafsir al-Qurthubi, ayat ini termasuk dalam kerangka kajian mashlahah syar’iyyah yang terkait dengan ikhtiar untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Artinya, menabung termasuk amalan dalam rangka menjamin tercapainya mashlahah (keselamatan/kebaikan) serta menghindari mafsadah (bahaya/kerugian) dan menggunakan harta sesuai dengan kebutuhan (biqadr al-hajah).
Berkahnya harta dengan Ziswaf
Lebih lanjut Yulizar menambahkan, dalam Islam juga sangat menganjurkan pengelolaan keuangan agar pemanfaatannya berdimensi duniawi dan ukhrawi atau berkah. Pola tersebut tentunya harus mengakomodir prioritas yang dianjurkan oleh Al-Quran dan Sunnah Rasulillah SAW.
Dalam Hadits Riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda bahwa kelak di hari akhirat manusia akan berkata “inilah harta bendaku!. Kemudian baginda Rasulullah bersabda lagi “wahai anak Adam sesungguhnya tidak ada harta benda yang diperoleh kamu kecuali apa yang kamu makan akan lenyap (fa-afnaita), apa yang kamu pakai akan menjadi rusak (fa-ablaita), dan apa yang kamu sedekahkan akan menjadi kebaikan yang kekal (fa-amdhaita).”
Sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam Surat Al-Munafiqun ayat 10 dikisahkan betapa orang yang sudah meninggal pun ingin dihidupkan kembali karena ingin bersedekah. Islam juga memberikan pembelajaran bahwa perumusan pola pengelolaan keuangan dalam perspektif Islam harus bisa mengakomodir atau memasukkan unsur sedekah di dalamnya.
“Bisa mengkhususkan 10 persen untuk sedekah (Ziswaf) atau memasukkan sedekah dalam pola 50 persen tersebut di atas dan mengakomodir unsur-unsur yang lain seperti kewajiban (utang), investasi termasuk kebutuhan hidup,” ungkap Yulizar.
Dengan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa tujuan finansial berupa Ziswaf harus dianggarkan dalam pola pengelolaan keuangan perspektif syariah agar hidup bisa menjadi lebih berkah.
Pentingnya Menabung Untuk Dana Darurat
Tak hanya Ziswaf, Islam juga masih memperbolehkan untuk mengalokasikan harta untuk tujuan finansial dalam bentuk dana darurat dan bukan untuk tujuan keuntungan bisnis; seperti menimbun harta untuk mendikte harga pasar.