Kamis, 02/05/2024 - 15:11 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

INTERNASIONALTIMUR TENGAH

Tak Hanya Umat Islam, Israel Juga Membatasi Aktivitas Umat Kristen di Gaza

ADVERTISEMENTS

 JAKARTA —  Umat Kristen Palestina di Gaza tidak dapat dipisahkan dari sejarah umat Kristen lainnya di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Yerusalem. Wilayah ini adalah tempat kelahiran agama Kristen.

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

Dilansir Middle East Eye, umat ​​​​Kristen Palestina di Gaza, tidak menganggap diri mereka terpisah dari negara Palestina secara luas. Meskipun terdapat lebih dari seribu orang Kristen yang masih tinggal di Gaza, wilayah tersebut memiliki arti khusus.

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Gereja Saint Porphyrius di Gaza yang diserang Israel merupakan salah satu situs keagamaan terpenting di Palestina. Gereja ini diberikan nama berdasarkan nama seorang uskup abad kelima. Situs ini adalah salah satu tempat ibadah tertua yang masih ada di wilayah Palestina, dan salah satu gereja tertua di dunia.

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Gereja ini awalnya dibangun pada tahun 425 M dan kemudian dibangun kembali oleh Tentara Salib pada abad ke-12. Situs Kristen besar lainnya di Gaza adalah biara Tell Umm Amer yang terletak di dekatnya. Usia biara ini lebih tua dari Gereja Saint Porphyrius.

ADVERTISEMENTS
Selamart Hari Buruh

Kehadiran sejumlah gereja dan biara, serta referensi Kitab Injil menunjukkan bahwa agama Kristen di Gaza berakar seiring dengan berkembangnya agama di wilayah tersebut. Namun adopsi agama ini secara luas baru terjadi pada abad kelima.

ADVERTISEMENTS
Top Up Pengcardmu Dimanapun dan Kapanpun mudah dengan Aplikasi Action
Berita Lainnya:
Australia Desak Warganya Segera Tinggalkan Israel

Menurut pakar sejarah Nicole Belayche, dalam esainya di buku Christian Gaza in Late Antiquity, ia menulis bahwa ketika Porphyrius ditahbiskan menjadi uskup di Gaza, populasi umat Kristen berjumlah kurang dari tiga ratus orang dari populasi yang diperkirakan berjumlah antara 20.000 dan 25.000.

ADVERTISEMENTS
PDAM Tirta Bengi Bener Meriah Aplikasi Action Bank Aceh

Masih ada minoritas Kristen kecil di wilayah Gaza, yang bertahan selama berabad-abad dan menikmati pertumbuhan singkat di bawah kekuasaan Tentara Salib pada abad ke-12. 

Seperti warga Palestina lainnya, banyak umat Kristen di wilayah tersebut yang terpaksa meninggalkan rumah mereka selama berdirinya negara Israel pada 1948. Pengusiran paksa ini dikenal sebagai peristiwa Nakba. Akibatnya, populasi umat Kristen di Gaza semakin menyusut selama beberapa dekade. Tren ini terus berlanjut setelah peristiwa Nakba.

Menurut The Guardian, terdapat 6.000 warga Kristen Palestina di Gaza pada pertengahan tahun 1960an. Jumlah tersebut telah menurun menjadi 1.100 saat ini.

Kebanyakan umat Kristen di wilayah Gaza menganut Gereja Ortodoks Yunani, sementara kelompok minoritas menganut Gereja Baptis dan Katolik. Sejak pengepungan Israel di Gaza dimulai pada 2007, umat Kristen menghadapi pembatasan pergerakan yang sama seperti yang dialami umat Muslim.

Berita Lainnya:
Jika Diminta, Jepang Siap Bantu Taiwan yang Terkena Gempa

Terputus dari komunitas Kristen yang lebih besar di Tepi Barat dan Yerusalem, umat Kristen di Gaza memerlukan izin Israel untuk melakukan perjalanan untuk acara keagamaan. Pada 2021, Israel mengeluarkan izin bagi sekitar setengah populasi Kristen Palestina di Gaza untuk menghadiri kebaktian Natal.

Hak untuk menghadiri ritual tersebut sama sekali tidak dijamin, sebagaimana dibuktikan dengan keputusan Israel untuk membatalkan 700 izin bagi umat Kristen di Gaza untuk menghadiri kebaktian Paskah di Yerusalem. Israel juga menolak permohonan izin bagi 260 warga Palestina di Gaza yang ingin merayakan Natal di luar wilayah tersebut.

Meski jumlahnya sedikit, Gereja-Gereja di Gaza secara rutin membuka pintunya bagi penganut agama apa pun untuk mencari perlindungan selama masa konflik, dengan harapan rumah ibadah tidak diserang oleh Israel. Harapan tersebut mungkin memudar dengan cepat setelah serangan terbaru Israel terhadap Gereja Saint Porphyrius. 

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS

x
ADVERTISEMENTS

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi