Kanker Paru adalah Penyakit dengan Prognosis Paling Buruk, Siapa Saja yang Perlu Skrining?

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto

ADVERTISEMENTS

Seorang pria memperlihatkan hasil rontgen paru miliknya. Individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi.

ADVERTISEMENTS

JAKARTA — Ada tiga kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru yang perlu menjalani skrining. Siapa sajakah mereka?

ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS

“Pertama, usia 45 sampai 71 kita masukkan dalam program skrining,” ujar Ketua Indonesia Association Study of Thoraric Oncology Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P(K) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENTS
ADVETISEMENTS

Elisna mengatakan seseorang yang pernah menjadi perokok aktif atau mantan perokok dengan waktu berhenti kurang dari 15 tahun juga masuk dalam kelompok berisiko tinggi. Demikian juga dengan perokok pasif.

ADVERTISEMENTS

Selain itu, individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi. Ini berlaku meskipun orang tersebut bukan perokok.

ADVERTISEMENTS

“Ternyata, dari data evidence base itu, kalau di keluarganya itu punya riwayat kanker paru, dia itu berisiko. jadi kerentanan seseorang di keluarga yang ada kanker paru dia lebih rentan, makanya dia perlu skrining,” ujar pakar onkologi toraks RSUP Persahabatan itu.

ADVERTISEMENTS

Lebih lanjut, Elisna menjelaskan perbedaan antara skrining dan deteksi dini. Skrining dilakukan pada individu dalam keadaan sehat tetapi memiliki faktor risiko. Adapun deteksi dini dilakukan terhadap individu yang telah bergejala.

ADVETISEMENTS

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, kanker paru merupakan penyakit dengan prognosis paling buruk, yaitu rendahnya angka tahan hidup dibandingkan dengan jenis kanker lainnya. Untuk pasien yang menjalani terapi kemoterapi pada stadium 4, proyeksi harapan hidupnya dapat mencapai 10 bulan, sedangkan tanpa pengobatan, diperkirakan hanya bertahan selama tiga bulan.

“Untuk meningkatkan angka harapan hidup ada tiga upaya, yang pertama skrining, kedua deteksi dini, yang ketiga pemberian terapi yang optimal,” ucap Elisna.

sumber : Antara

Sumber: Republika

ADVERTISEMENTS
x
ADVERTISEMENTS
Exit mobile version