“Ketika perundang-undangan menyebutkan kuota 30 % keterwakilan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif tidak terwujud, maka negara telah melakukan pelanggaran akibat gagal memenuhi hak perempuan untuk menjadi anggota legislatif,” ujar Atnike.
Tercatat, dalam tiga periode terakhir, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai angka 30 persen. Bahkan, dari 34 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan pada 2019 lalu, hanya satu provinsi yang mencapai angka minimal tersebut.
Patut diingat pula afirmasi perempuan dalam Pemilu dimulai sejak Pemilu 2004. Ini melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, afirmasi perempuan diwujudkan dalam bentuk keterwakilan 30% perempuan.
Keterwakilan perempuan dinilai berhasil melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berpihak pada perempuan, anak, dan kelompok rentan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga direvisinya UU Perkawinan.
“Pemenuhan kuota perempuan tetap terus digaungkan. Memprioritaskan perempuan agar keterwakilan perempuan di parlemen juga melahirkan regulasi untuk perempuan juga,” begitulah harapan Caleg muda Rizki Rahayu Fitri agar perempuan bisa bersuara untuk perempuan juga dari ranah legislatif.
Sumber: Republika