Selasa, 30/04/2024 - 06:10 WIB
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi

TERBARU

OPINI
OPINI

Politisasi Agama: Modus Politik yang Kumuh dan Primitif

ADVERTISEMENTS

 Oleh: Ahmad Fanani, Budayawan

ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Thantawi Ishak mantan Komisaris Utama Bank Aceh

Propaganda memang masih menjadi senjata ampuh dalam setiap suksesi politik, terlebih jika ditautkan pada klaim-klaim agama. Sebagaimana viral di berbagai media sosial, masih banyak oknum yang secara serampangan menggunakan diktum agama sebagai alat propaganda dan mobilisasi politik demi kepentingan kekuasaan. Agama yang mestinya dipakai untuk menuntun umat menuju surga, diperalat sebagai sebatas kendaraan menuju kekuasaan. 

ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat dan Sukses atas Pelantikan Reza Saputra sebagai Kepala BPKA
ADVERTISEMENTS
Ucapan Selamat Memperingati Hari Kartini dari Bank Aceh Syariah

Agama memang tak bisa dipisahkan dari politik. Sebagaimana dikatakan Buya Natsir bahwa memisahkan agama dari politik semusykil memisahkan gula dari manisnya, atau menceraikan garam dari asinnya. Namun demikian, kita harus cermat dan hati-hati betul dalam mengelola relasi keduanya. 

ADVERTISEMENTS
Manyambut Kemenangan Idul Fitri 1445 H dari Bank Aceh Syariah
ADVETISEMENTS
Ucapan Belasungkawa Zakaria A Rahman dari Bank Aceh

Peran agama mestinya tidak dikerdilkan dengan cara rendahan seperti menggunakannya sebagai alat mobilisasi politik. Keluhuran agama mestinya ditempatkan sebagai penyemai nilai keadaban publik, menyuburkan keluhuran budi dan akhlak kolektif bangsa. Kemuliaan agama diletakkan sebagai tungku pematangan kualitas kemanusiaan yang menumbuhkan jiwa welas asih dan kebijaksanaan yang merupakan katalis perekat persatuan.

ADVERTISEMENTS

 

ADVERTISEMENTS
Mudahkan Hidup Anda!, Bayar PBB Kapan Saja, Di Mana Saja! - Aceh Singkil

Kehadiran agama mestinya selayaknya fajar yang mencerahkan, menuntun umat menuju peradaban yang berkemajuan. Modus sosial agama tak boleh berhenti hanya dengan meromantisasi masa lalu dan celoteh glorifikasi kejayaan silam sembari mengutuk masa kini yang dilabeli jahiliyah dan serba sesat.

Berita Lainnya:
Empat Menteri Jokowi Beri Keterangan di MK Hari Ini

Memperalat Agama

Memperalat agama sebagai instrument mobilisasi untuk kepentingan politik praktis adalah laku yang teramat beresiko dan berbahaya. Kita sudah menyaksikan dalam beberapa titik di lintasan sejarah bangsa benturan berbagai ideologi dan beroperasinya politisasi agama memakan korban yang tak sedikit dan memilukan.

Tapi memang mobilisasi politik dengan memperalat agama teramat sangat menggiurkan. Sebab merupakan cara instan meraih dukungan publik. Modus politik jenis ini beroperasi dengan melakukan eksploitasi atas sentimen emosi dan ketakutan. Umat yang khawatir akan berbondong-bondong memberikan dukungan elektoral.

Wajar saja jika hari ini banyak oknum yang secara serampangan menggunakan diktum agama sebagai alat propaganda dan mobilisasi politik demi kepentingan kekuasaan. Kolaborasi faktor jebloknya elektabilitas, miskinnya gagasan dan deficit nalar untuk merumuskan strategi yang bisa merebut simpati public membuat mereka mengambil jalan pintas dengan memperalat agama. 

Maka bertebaranlah propaganda-propaganda murahan seperti “Siapa yang tak memilih paslon X patut dipertanyakan agamanya.” Atau video yang menunjukkan oknum yang secara serampangan melabeli mereka yang berbeda pilihan sebagai Dajjal. Dalam video lain ada juga oknum yang secara teatrikal meyakinkan audience bahwa calon tertentu merupakan titisan Imam Mahdi. 

Monopoli kebenaran semacam ini adalah ibu dari segala sikap intoleran. Sikap yang membelah kami dan mereka. Kami adalah pejuang dan mereka adalah begundal. Kami adalah pihak yang benar dan mereka adalah biang kerok dari segala kejahatan. Maka mereka harus disingkirkan bagaimanapun caranya.

Berita Lainnya:
Paradox Syariat Untuk Industri (saja) di Negeri Muslim

Modus politik yang demikian bukan saja menurunkan kualitas demokrasi, tapi juga berbahaya. Pesta demokrasi yang mestinya meriah oleh pendidikan politik dengan keriuahan pertarungan gagasan, hanya sekadar jadi ajang eksploitasi sentimen yang primitif. Pematangan demokrasi semakin jauh panggang dari api, dan politik tak lagi ditakar dengan pertimbangan-pertimbangan nalar. Proses deliberasi politik mengalami kebuntuan. Rasionalitas terpinggirkan. Pesta demokrasi hanya gaduh oleh celoteh hoax dan ujaran kebencian.

Mesianisme politik seperti ini tak akan membawa kita kemanapun selain segregasi politik dan pembelahan sosial. Keselamatan seakan ada di tangan mereka. Pemburu kuasa bertransformasi menjadi pejuang keselamatan. Bilik suara tak ubahnya shirothol mustaqim yang berhilir di surge atau neraka. Berbeda pilihan bukan saja dosa, tapi bahkan bisa membatalkan status keberimanan.

Selalu saja ada demagog yang menghalalkan segala-galanya demi segenggam kuasa. Mereka tak mempan dengan argumentasi rasional. Dengan segala cara mereka mengeksploitasi dan menunggangi emosi komunal demi mengais remah-remah elektoral. Agama yang mestinya dimuliakan, mereka nistakan dengan memperalatnya sebagai bahan bakar untuk memanggang emosi publik. Yang mesti disadari, sejatinya modus politik yang demikian, justru bisa menjadi senjata makan tuan karena publik yang masih melek akal pikir dan nuraninya tak akan mempan dengan cara-cara murahan seperti itu.

x
ADVERTISEMENTS
1 2

Reaksi & Komentar

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.
IndonesianArabicEnglishRussianGermanFrenchChinese (Simplified)JapaneseMalayHindi