UPDATE

OPINI
OPINI

Film Horor dan Krisis Spiritualitas: Menyoal Arah Perfilman Indonesia

Penulis: Zuhratul Hafni**

INDUSTRI perfilman Indonesia memang sedang menggeliat. Dalam beberapa tahun terakhir, deretan film lokal mencatat rekor jumlah penonton, bahkan beberapa berhasil menembus 5 juta penonton di bioskop. Namun, di balik geliat tersebut, ada satu kegelisahan yang mulai muncul di tengah masyarakat Muslim: dominasi genre horor yang tidak hanya monoton secara naratif, tetapi juga dinilai membawa pengaruh buruk terhadap spiritualitas penontonnya.

Pertanyaannya bukan sekadar mengapa film horor begitu digemari, melainkan apa dampaknya terhadap pola pikir, keimanan, dan pandangan hidup generasi muda Muslim yang menjadi mayoritas penonton bioskop saat ini.

Horor: Jalan Pintas Menuju Laba

Tak bisa dipungkiri, genre horor memang menggiurkan secara bisnis. Produksinya tidak memerlukan aktor papan atas atau anggaran besar, namun hampir selalu menarik massa. Pola ceritanya juga mudah ditebak: hantu perempuan berambut panjang, latar tempat yang angker, iringan suara mencekam, dan tokoh utama yang diteror kekuatan gaib.

Ironisnya, pola seperti itu terus diulang tanpa inovasi. Film seperti KKN di Desa Penari, Pengabdi Setan, Sewu Dino, dan puluhan judul serupa, membanjiri bioskop seolah menjadi identitas tunggal perfilman Indonesia. Ketika sineas hanya mengejar sensasi, maka sinema berhenti menjadi medium peradaban dan berubah menjadi sekadar alat jual beli rasa takut.

Padahal, di negara dengan mayoritas penduduk Muslim, semestinya nilai-nilai Islam bisa mendapat ruang lebih luas dalam narasi film. Namun yang terjadi justru sebaliknya: unsur agama sering kali dimasukkan hanya untuk memperkuat atmosfer horor—seperti suara azan yang dilatari penampakan jin, atau pengajian malam yang berubah menjadi teror mistik. Simbol-simbol suci agama kerap dipelintir menjadi properti ketakutan.

Melunturkan Tauhid, Menguatkan Takhayul

Masalah utama dari film horor bukan hanya pada estetika ketakutan, melainkan pada distorsi akidah yang dibawanya. Dalam Islam, jin dan setan memang nyata, namun kekuasaan mereka terbatas. Mereka tidak bisa menyakiti manusia secara fisik kecuali atas izin Allah. Namun dalam film horor, jin digambarkan mampu membunuh, merasuki, bahkan mengendalikan manusia seolah-olah lebih kuat dari seorang mukmin yang beriman.

Berita Lainnya:
Roy Suryo Cs Konsisten Ijazah Jokowi 99,9 Persen Palsu

Dalam banyak film, tokoh-tokoh Muslim yang berzikir pun digambarkan kalah oleh kekuatan gaib. Ayat-ayat Al-Qur’an dijadikan semacam ‘jimat pengusir setan’, bukan sebagai petunjuk kehidupan. Penonton awam akan dengan mudah menyimpulkan bahwa agama hanya sebatas alat perlawanan dalam dunia mistik, bukan sistem hidup yang utuh.

Jika ini terus berlanjut, akan terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat. Orang lebih takut kepada hantu daripada kepada Allah. Lebih percaya pada mitos dan ritual-ritual warisan nenek moyang daripada pada kekuatan tauhid dan doa. Inilah bahaya laten dari konsumsi tontonan horor yang masif dan tidak terfilter secara spiritual.

Horor dan Agama: Relasi yang Salah Kaprah

Beberapa sineas mencoba membela diri bahwa film horor dengan unsur agama adalah bagian dari “dakwah terselubung”. Mereka menghadirkan tokoh ustaz, ruqyah, pesantren, dan simbol-simbol Islam sebagai bagian dari jalan keluar dari gangguan jin. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya. Ustaz digambarkan sebagai ‘dukun modern’, pesantren sebagai tempat yang penuh rahasia kelam, dan doa sebagai mantera mistis, bukan sebagai ibadah.

Jika cara menyampaikan nilai agama seperti ini dibiarkan, maka akan terjadi kesalahpahaman besar di tengah masyarakat. Generasi muda akan melihat Islam hanya sebagai ‘alat perlawanan spiritual’, bukan sistem nilai yang meliputi akhlak, ilmu, dan amal. Ini bukan dakwah, melainkan banalitas terhadap agama.

Krisis Imajinasi dan Kemalasan Naratif

Pertanyaan besar lainnya adalah: ke mana perginya genre lain dalam perfilman Indonesia? Mengapa tema-tema seperti perjuangan ulama Nusantara, sejarah Islam, kisah inspiratif santri, atau fiksi ilmiah Islami sangat jarang diangkat?

Jawabannya bisa jadi adalah karena film horor adalah jalan pintas. Mudah dibuat, cepat balik modal, dan minim risiko. Tapi konsekuensinya sangat mahal: industri film kehilangan makna, masyarakat kehilangan arah, dan dakwah kehilangan medium.

Kita membutuhkan sineas Muslim yang berani melawan arus. Membuat film bukan sekadar untuk menakut-nakuti, tapi untuk mencerdaskan dan menyentuh hati. Seharusnya kita mampu menghadirkan film seperti The Message atau Omar dalam konteks lokal: tentang perjuangan ulama Aceh, resolusi jihad NU, atau kisah para dai di pedalaman.

Berita Lainnya:
Konser Itu Bernama Banjir

Industri Film Sebagai Medan Dakwah

Sudah saatnya umat Islam menaruh perhatian lebih besar pada dunia perfilman. Film bukan sekadar tontonan, tetapi bisa menjadi alat pembentukan cara berpikir. Melalui film, seseorang bisa tertarik kepada agama, atau justru menjauhinya. Melalui film, seseorang bisa memahami tauhid, atau malah tenggelam dalam tahayul.

Oleh karena itu, komunitas Muslim harus mulai membangun ekosistem film sendiri. Mulai dari penulis skenario, sutradara, produser, hingga penonton, semuanya harus punya kesadaran bahwa film adalah medan perjuangan nilai. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan ruang kreatif diisi oleh narasi yang keliru dan menyesatkan.

Lembaga pendidikan Islam bisa mulai memasukkan literasi media dan sinema sebagai bagian dari kurikulum. Pondok pesantren dan kampus Islam bisa mulai membentuk unit produksi film pendek, dokumenter, atau serial dakwah. Dengan cara ini, akan lahir generasi Muslim yang bukan hanya paham agama, tetapi juga piawai menyampaikannya melalui medium kekinian.

Menolak Identitas Sinema Mistik

Indonesia adalah bangsa besar dengan sejarah, budaya, dan spiritualitas yang kaya. Menyedihkan jika identitas perfilmannya hanya dikenal karena produksi film hantu. Dunia perfilman kita tidak kekurangan talenta, hanya kekurangan visi.

Sebagai Muslim, kita tidak anti hiburan. Tapi hiburan yang baik adalah yang mendekatkan kepada kebaikan, bukan yang membuat takut tanpa arah. Islam tidak melarang seni, tetapi mengarahkan agar seni menjadi sarana untuk menguatkan iman, bukan merusaknya.

Film horor yang sarat penyimpangan spiritual bukan hanya tidak mendidik, tapi juga berbahaya. Ia menormalkan rasa takut kepada makhluk, memperkuat mitos, dan mengaburkan tauhid. Sudah saatnya kita berkata cukup. Saatnya kita mengubah arah, dari layar yang menakut-nakuti menjadi layar yang mencerdaskan dan menghidupkan iman.

**). Seorang Ibu Rumah Tangga yang berdomisili di Provinsi Aceh.

Reaksi

Berita Lainnya

Tampilkan Lainnya Loading...Tidak ditemukan berita/artikel lainnya.